Masyarakat Cirebon kebanyakan, termasuk juga Indramayu, untuk menyebut naskah kuna adalah lontar, meskipun itu ditulis di atas kertas Eropa, Daluwang, atau kertas bergaris. Definisi itu mafhum di kalangan petani desa, atau masyarakat awam. Setidaknya, jika menanyakan naskah kuna ke masyarakat, terminologi lontar lebih mudah dipahami dibandingkan dengan istilah lain, seperti manuskrip atau naskah.
Pada kesempatan ini akan diuraikan bagaimana situasi pernaskahan Cirebon secara umum. Uraian itu merupakan pengalaman pribadi penulis selama bergelut dengan naskah Cirebon sejak tahun 2009-an hingga saat ini. Pada tahun 2012, penulis turut serta dalam projek preservasi dan konservasi naskah kuna bersama Manassa di Cirebon. Sebanyak lebih dari 120 judul berhasil didigitalisasi dan inventarisasi. Hasil dari kerja kodikologi itu diunggah ke dalam Portal Naskah Nusantara (daring). Sebelumnya, penulis juga pernah melakukan inventarisasi naskah kuna dari Indramayu, tepatnya pada tahun 2011, program DRPM Universitas Indonesia.
Situasi Pernaskahan
Naskah Cirebon adalah naskah yang ditulis atau berasal dari Cirebon, keberadaannya dapat dilihat dalam katalogus naskah. Sedikitnya ada empat katalog yang memuat naskah Cirebon: Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga (Ekadjati dan Darsa: 1999); Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3 A Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Behrend dan Pudjiastuti: 1997); laporan penelitian Pencatatan, Inventarisasi, dan Pendokumentasian Naskah-naskah Cirebon (Pudjiastuti, Munandar, dan Maman: 1994); Katalog Naskah Nusantara (daring) koleksi Keraton Kacirebonan, Elang Hilman, Opan Safari, dan Elang Sulaiman (kodikolog Fathurahman dan Nurhata).
Naskah Cirebon kebanyakan disimpan di keraton, keluarga keraton, perpustakaan, dan museum. Di masyarakat awam pun sebetulnya tidak kalah banyak dari kantong-kantong penyimpanan itu, hanya saja keberadaannya tercecer di desa-desa. Naskah koleksi masyarakat pedesaan itu luput dari perhatian para peneliti, padahal keberadaannya sangat rentan musnah, baik disebabkan oleh ketidakpahaman pemilik atau pun faktor alam.
Tradisi penulisan dan penyalinan naskah Cirebon sudah ada sejak abad ke-16, baru mencapai kemapanannya pada abad ke-17. Pada abad ke-18, tradisi itu berkembang luas, tidak hanya di kalangan keraton, melainkan masyarakat awam juga. Bahkan, sampai pertengahan abad ke-20, di pelosok desa (di Indramayu) tradisi kesusastraan semakin semarak, yang dilakukan oleh para dalang.
Naskah Cirebon ditulis dengan aksara Jawa, Pegon, dan Arab. Adapun bahasa yang dipakai adalah Jawa dan Arab. Naskah berbahasa Arab tidak semuanya ditulis dengan aksara Arab pula. Naskah tertua koleksi keraton Cirebon (ditulis pada abad ke-16) yang berisi hukum Islam (fikih) menunjukan hal itu, ditulis dengan aksara Jawa. Demikian pula naskah tarekat, tidak sedikit yang tertulis dengan aksara Jawa.
Isi yang termuat dalam naskah Cirebon adalah sejarah, tata bahasa, kidung, hukum Islam, undang-undang, tarekat, tasawuf, tauhid, akhlak, primbon, babad, hagiografi, dan lain-lain. Naskah babad dan primbon memiliki banyak salinan dibandingkan dengan genre naskah lainnya. Masyarakat menggunakan naskah babad untuk diceritakan lagi kepada orang lain baik melalui seni pertunjukan maupun cerita tutur, sedangkan primbon dipakai untuk meramal.
Kemusnahan naskah
Sewaktu-waktu, naskah Cirebon terancam punah. Hingga memasuki awal abad ke-21, berita pemusnahan naskah masih terdengar. Realita di lapangan menunjukkan, hampir semua pemilik tidak mengerti cara perawatannya. Para pemilik meletakan naskah begitu saja di tempat lembab yang justru mempercepat proses pelapukan.
Kali pertama pemusnahan naskah terjadi di wilayah pesisir utara Jawa Barat pada abad ke-15, tepatnya di Karawang. Naskah sebanyak satu perahu dibakar oleh Ki Tangat dan Ki Urmat atas perintah Darugem. Darugem adalah seseorang yang banyak menguasai ilmu pengetahuan dan keagamaan. Akan tetapi, ia tidak mampu menjawab persoalan syahadat yang ditanyakan oleh Syekh Quro. Karena persoalan itulah Darugem memerintahkan kedua asistennya untuk membakar. Sementara itu, Ki Tangat dan Ki Urmat kembali pulang berlayar menuju Mekah.
Naskah sebanyak satu peti, beberapa dekade lalu, juga dikubur seperti mayat dengan alasan menghindari penjarahan. Akibatnya, ratusan naskah hancur. Ada pula yang dengan sengaja membakar naskah dengan alasan menghindari kontroversi sumber konvensional. Misalnya, karena ada perbedaan antara naskah fikih dengan kitab fikih (cetak) yang dipelajari di pesantren, maka naskah yang harus disalahkan: dibakar.
Satu alasan yang pasti, tindakan itu tidak dibenarkan. Langkah-langkah preventif sedianya terus dilakukan demi kelestarian cagar budaya, dengan memberikan pelatihan preservasi atau konservasi secara kontinu.
Kearifan Lokal yang Tersembunyi
Melalui naskah, fenomena kebudayaan dan ilmu pengetahuan masa lalu dapat dihadirkan. Ikram (1997) juga menegaskan, di dalam naskah terkandung alam pemikiran, adat istiadat, dan berbagai informasi penting tentang masa lalu. Setiap naskah, apapun genrenya, sedianya digali kemudian isi yang termuat di dalamnya diperkenalkan agar masyarakat mengetahui nilai-nilai budaya leluhurnya.
Hingga pertengahan abad ke-20, masyarakat pesisir mendapatkan pencerahan dan berbagai informasi yang dianggap penting dari dalam naskah. Isi yang termuat di dalamnya kerap dideklamasikan oleh tukang cerita (tradisi tutur), seni pertunjukan, dan tradisi penyalinan. Melalui tiga media itu masyarakat memperoleh pengetahuan keagamaan, seperti tasawuf, tauhid, dan tarekat.
Sebuah naskah yang memiliki banyak salinan, tersebar di semua lapisan sosial, bahkan hingga kini masih digunakan untuk berbagai kepentingan, adalah Primbon. Naskah Primbon memiliki implikasi konkrit bagi kehidupan masyarakat dewasa ini, bertolak dari muatan-muatan irasional yang terkandung di dalamnya. Lebih dari itu, naskah Primbon tidak melulu berisi penjelasan ramalan-ramalan yang dirumuskan dalam Naga Dina, melainkan dilengkapi dengan ramuan-ramuan, jimat (rajah), dan doa-doa. Itu sebabnya, Primbon hingga saat ini masih relevan.
Namun demikian, untuk dapat menjangkau isi teks diperlukan kemampuan membaca dan memahami dengan saksama. Lagi pula aksara dalam naskah tidak lagi sama dari aksara konvensional dewasa ini. Apalagi variasi aksara naskah pesisir Cirebon yang begitu kompleks. Belum lagi dihadapkan pada persoalan bahasa, yang juga sangat berbeda dari bahasa Jawa sehari-hari. Kedua elemen urgen itu terlebih dahulu ditaklukan. Sebab, aksara adalah gerbang menuju kebudayaan masa lalu, sedangkan bahasa adalah kuncinya. Tanpa melalui gerbang itu, dan tanpa kunci, maka sukar mengetahui khazanah budaya masa lalu.
Dimuat di surat kabar harian umum Pikiran Rakyat pada hari Rabu 24 Mei 2016
muhammadnurhata@gmail.com; 082295405185
Advertisement
EmoticonEmoticon