Abstrak
Di Indramayu, menceritakan
isi naskah kepada masyarakat melalui seni pertunjukan biasa dilakukan seorang
dalang. Cerita yang disampaikan berkaitan dengan wiracarita Hindu, Islam, dan
Jawa. Pengetahuan masyarakat mengenai tiga wiracarita tersebut, khususnya asal-usul
Cirebon atau Indramayu, banyak diperoleh dari tradisi semacam itu. Oleh karena
referensi yang digunakan adalah naskah, maka membaca teks, yang umumnya beraksara
Jawa, adalah tuntutan utama bagi setiap dalang. Di tangan dalang, fungsi naskah
bukan sebagai azimat atau benda yang dapat memberikan kekuatan gaib seperti
yang diyakini oleh masyarakat awam, melainkan sebagai acuan bagi pementasan
kesenian. Peran penting dalang tidak hanya menyampaikan cerita dari naskah tetapi
juga mengadaptasi naskah ketika proses penyalinan berlangsung, meskipun tidak
semua dalang melakukan itu.
Naskah koleksi dalang
berjumlah 79, dimiliki oleh dalang Karyo, Gonda, Sonda, dan Ahmadi. Naskah-naskah
yang pernah dijadikan babon itu sebagian
besar kondisinya mengkhawatirkan, tidak terpelihara dengan baik, karena
pengetahuan perawatan yang dikuasai pemilik sangat terbatas. Keluarga pewaris juga
kerap menyimpan naskah di tempat yang dianggap keramat, hal ini bertalian
dengan keyakinan yang ada. Padahal, sejak beberapa dekade silam, perkembangan kesusastraan
Indramayu terangkum di dalamnya. Identitas budaya suatu daerah pun dapat
diidentifikasi melalui jejak leluhur sebagaimana naskah. Cagar budaya yang
pernah memberikan pencerahan bagi masyarakat itu seyogianya dilihat kembali
dalam rangka menemukan kearifan-kearifan lokal dan nilai-nilai yang masih
relevan. Sebuah ikhtiar memperkenalkan kembali naskah-naskah dalang yang
semakin lapuk karena usia dapat dilakukan dengan membuat daftar (register)
naskah yaitu dengan menyusun judul berikut dengan nomor urutnya, lebih lengkap
dengan deskripsinya disebut katalogus naskah; kebutuhan paling prinsip dalam
studi filologi. Dari sini masyarakat menyadari bahwa di Indramayu tidak hanya
tradisi lisan yang pernah berkembang, melainkan juga tradisi tulis.
Kata kunci: naskah,
Indramayu, dalang, dan katalog
Pendahuluan
Naskah Indramayu adalah
naskah yang berasal dari Indramayu. Jumlah naskah di daerah ini mencapai
puluhan, tersebar di tengah masyarakat, dan sebagian besar dimiliki para
dalang. Dalang yang dimaksud disini mengacu pada pengertian orang yang berperan
sentral dalam seni pertunjukan atau ritual adat, misalnya dalang wayang, dalang
sandiwara, atau dalang macapat.[2] Peran penting dalang dalam menumbuhkan tradisi kesusastraan
selama dua abad lebih patut mendapatkan apresiasi. Melalui kegiatan kesenian
atau upacara adat, mereka menyampaikan pesan-pesan moral dan ajaran keagamaan
kepada masyarakat yang diilhami dari cerita-cerita era Jawa Kuna, Jawa
Pertengahan, dan Jawa Baru; atau karya sastra yang berasal dari tiga kebudayaan
besar: Arab, India, dan Persia.
Seni pertunjukan wayang,
sandiwara, dan macapat yang ada di Indramayu, merupakan variasi kesenian yang berakar
dari tradisi Jawa kuna. Titik kesamaan antara keduanya terletak pada cara
pertunjukannya serta penggunaannya atas naskah sebagai sumbernya, meskipun
tidak sama persis. Menurut Zoetmulder (1983: 262—265), pertunjukan wayang sudah
ada sejak abad ke-10. Pada masa itu disebutkan nama dalang dan upah yang
diterimanya karena turut dalam perayaan sebidang tanah yang terbebas dari
pajak. Sebuah prasasti berangka tahun 907 mendeskripsikan wayang lebih lengkap
lagi, atas nama Raja Balitung, “Tiga desa bebas pajak karena berhubungan dengan
wihara Dalinan”. Aneka pertunjukan yang digelar diantaranya paduan suara, “Si
Nalu menyanyikan Bhima Kumara dan menarikan peran Kicaka; Ramayana dinyanyikan
oleh Si Jaluk; dagelan (mamirus) dan
banyolan (babanol) oleh Si Mungmuk; sedangkan
pertunjukan wayang oleh Si Galigi dengan membawakan cerita Bhima Kumara (Bhima
perjaka atau Bhima yang jatuh cinta)”. Mengenai jenis wayang yang dipentaskan,
naskah Arjunawiwaha menyebutkan ringgit, boneka dari kulit yang diukir,
atau wayang kulit. Penulis naskah juga kerap menganalogikan banyak hal dengan
wayang, “seolah bersembunyi dibalik kelir; pohon pisang bergerak lembut
bagaikan wayang-wayang, dst”. Sementara itu, yang menggerakan wayang dan
melantunkan lagu-lagu (kidung/macapat) adalah widu (dalang), seperti termaktub dalam kitab Ramayana, “Bagaikan widu mawayang” atau widu yang memainkan wayang. Artinya, dalang di sini berarti orang
yang menggerakan wayang dalam seni pertunjukan.
Berbeda dari Zoetmulder,
naskah Cariyos Walangsungsang (akhir
cerita) dan Babad Cerbon (pupuh
Kinanti) menguraikan bahwa wayang diciptakan oleh Sunan Kalijaga di Gunung
Dieng pada sekitar akhir abad ke-15.[3] Sebelum membuat wayang dengan menggunakan pisau pemberian dari
Nabi Hidir, terlebih dahulu ia membuat sketsanya di atas tanah. Awal tujuannya
ke gunung itu sesungguhnya untuk bertapa, atas perintah Nabi Hidir, sebagai
syarat sebelum berjumpa dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Kelak,
wayang-wayang itu digunakan sebagai media dakwah Islam.
Pertunjukan sandiwara
juga memiliki banyak keserupaan dengan wayang
wong. Syair Jawa Kuno Hariwangsa menyebutkan
dua kali mengenai wayang orang: perumpamaan, “wayang-wayang berbentuk seperti
wayang wwang”, dan deskripsi, “gambaran suatu pesta perkawainan
diiringi adegan komis di atas panggung. Sejumlah orang tua membuat pagelaran wayang wwang dan disoraki oleh banyak
penonton. Tarian mereka sangat bagus sehingga banyak yang tertawa lepas”. Meskipun
ada dugaan berbeda mengenai wayang wong Jawa Kuna dengan era sekarang
tetapi keduanya sama-sama berupa tragedi, atau komedi. Keduanya memang
pertunjukan seni tari, namun pertunjukannya disebut wayang (Zoetmulder, 1983:
266—267).
Dalam banyak hal,
kedudukan Indramayu tidak terpisah dari Cirebon, terutama soal kesusastraan, sebagaimana
diuraikan pada sumber-sumber kolonial maupun catatan lokal penduduk pribumi. Pigeaud
menuturkan, dari abad 16 hingga 18, Cirebon adalah pusat penyebaran sastra
Islam. Pada masa itu kebudayaan Jawa cukup dominan (dalam Pudjiastuti, 2001:
86). Tidak heran jika di daerah ini naskah-naskah keagamaan melimpah ruah,
sehingga menarik sejumlah peneliti. Meskipun demikian, ragam jenis naskah yang
berada di Cirebon cenderung berbeda dari Indramayu; jumlah naskah wiracarita
Hindu, Jawa, dan Islam lebih banyak dari naskah keagamaan (Islam). Dua teks kronik
(epos Jawa) yang paling digamari di dua daerah itu adalah Babad Cerbon dan Babad Darmayu.
Kedua naskah tersebut disalin berulang-ulang oleh masyarakat umum (tertuama
dalang), serta dijadikan dasar cerita suatu pertunjukan Sandiwara oleh dalang.
Tidak heran jika cerita-cerita dalam naskah dikuasai sepenuhnya oleh dalang
sampai hafal.
Jejak leluhur yang dimiliki
dalang merupakan satu indikasi bahwa tradisi penyalinan naskah tidak hanya tumbuh
dan berkembang di keraton-keraton Cirebon melainkan juga masyarakat yang jauh
dari pusat skriptorium. Penyalinan naskah dilakukan melalui kontak langsung
antara penduduk dengan bujangga keraton, selanjutnya disalin ulang oleh
masyarakat Indramayu. Dalang adalah seniman yang memiliki minat besar atas
kesusastraan serta memelihara tradisi intelektual itu. Di Jawa Tengah (Surakarta)
juga demikian, orang-orang yang menjadi kolektor naskah biasanya memiliki
ketertarikan pada sastra atau berasal dari kalangan akademik, serta memiliki kemampuan
finansial lebih: R. Tanoyo, penerbit buku (200 naskah lebih); RM Sayid,
seniman; Bupati Hardjonagoro; dan yang paling banyak adalah koleski Astuti
Hendrato dari Balai Pustaka. Naskah-naskah yang dikumpulkan oleh Astuti diambil
dari seluruh Jawa seringkali digunakan oleh para peneliti serius: qualified (Behrend, 1988: 29).
Ragam jenis teks pada naskah koleksi dalang dapat diklasifikasikan
menjadi tiga: Hindu, Islam, dan Jawa. Robson
(1994: 8; 10) menegaskan, apapun jenis dan isinya, setiap naskah menyimpan pemikiran, perasaan, dan kepercayaan, termasuk pesan dan
amanat penulis dan masyarakatnya, mengenai apa saja yang mereka asumsikan
sebagai sesuatu yang penting, indah, dan berguna. Dengan mempelajari naskah maka
kita juga bisa ‘berkomunikasi’ dengan para leluhur, memperoleh sesuatu yang
bernilai baik bagi kebudayaan, paling tidak untuk kepuasan pribadi. Akan
tetapi, realita di Indramayu menunjukkan sebaliknya. Kondisi naskah-naskah dalang
kebanyakan mengkhawatirkan, tidak terpelihara dengan baik karena keterbatasan
pengetahuan pemilik dalam memperlakukan naskah. Kearifan lokal yang termuat
dalam setiap lembaran naskah seyogianya diperkenalkan kembali ke masyarakat (peneliti)
dewasa ini dengan menempatkannya ke dalam bingkai kodikologi, diantaranya
melalui penyusunan daftar (register) atau katalogus naskah sebagai langkah awal
memasuki ruang budaya masa silam.
Memperkenalkan Kembali Cagar Budaya
Sebagai benda cagar
budaya, keberadaan naskah tidak hanya harus dilindungi melainkan diperkenalkan
ke masyarakat peneliti dengan cara penyusunan daftar koleksi, yang merupakan
bagian dari ranah kodikologi. Kodikologi adalah cabang ilmu baru, di samping
paleografi, yang mulai mendapatkan perhatian pada abad pertengahan. Sebelumnya,
kedua cabang ilmu itu hanya sebagai ilmu bantu. Baried menguraikan, pokok kajian kodikologi (ilmu
tentang pernaskahan) melingkupi semua aspek naskah seperti umur, bahan, tempat
penulisan, dan perkiraan penulisan. Sementara itu, paleografi menurut Van der
Molen, fokus kajiannya mempelajari bentuk tulisan, konsentrasi pada sejarah
tulisan: mendeskripsikan perubahan bentuk tulisan (Pudjiastuti, 2008:9—10). Definisi
lain dari kodikologi yaitu tentang naskah atau ilmu pernaskahan. Antara naskah
dan teks terdapat perbedaan, naskah berarti wujud fisik sedangkan teks adalah
kandungan isinya; sangat mungkin satu naskah terdiri atas beberapa teks. Sedangkan
menurut Dain, kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah (bukan isinya),
wilayah kajiannya tentang sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian
tempat naskah, masalah penyusunan katalog, perdagangan naskah, pemanfaatan
naskah, dan penyusunan daftar katalog (Mulyadi, 1994: 2—3).
Katalogus naskah adalah peta pencarian yang sangat urgen
bagi para peneliti di bidang filologi atau ilmu humaniora, atau disiplin ilmu
yang belum secara optimal memanfaatkan sumber-sumber lokal sebagai basis
penelitiannya, paling tidak untuk kebutuhan komplemen. Dengan dibuat suatu
daftar naskah, lengkap dengan deskripsinya maka mereka yang berminat terhadap
naskah sebagai sumber kajiannya, jelas akan terbantu. Bagi studi sejarah
misalnya, memanfaatkan naskah lengkap yang di dalamnya terdapat angka tahun dan
penulis, tentunya dapat membantu merekatkan serpihan sejarah kebudayaan Nusantara. Baru-baru penelitian linguistik Perubahan
Grup Nominal Dialek Cirebon Berdasarkan
Teks Abad Ke-18 Sampai Dengan
Abad Ke-21 (Sri Wulandari,
2014), juga memanfaatkan katalogus naskah online
Portal Naskah Nusantara (Manassa) dan Kearifan Lokal dalam
Naskah-naskah Pesisir Indramayu: Pengembangan Budaya Pesisir Melalui Knowledge Management
System (Christomy dan Nurhata). Singkatnya, proyeksi
membuat teks menjadi terbaca dengan cara menyajikan dan menafsirakan, sebagaimana
tujuan dari filologi, [4]
agar lebih mudah maka harus bertolak dari katalogus
naskah.
Munculnya katalogus
naskah didorong oleh realita di lapangan yang tidak mungkin disembunyikan,
bahwa ribuan naskah yang masih brececeran sedang menunggu tangan-tangan kreatif
untuk segera dibuatkan katalognya. Kegiatan katalogisasi hingga saat ini terus
berlanjut seiring dengan bertambahnya jumlah naskah yang ditemukan di
masyarakat sehingga melahirkan katalognya katalog. “Katalog tentang Katalog”
pertama kali dibuat oleh Henri Chambert-Loir dalam Archipel No. 20, 1980, diikuti Van der Molen pada April 1984
(Ikram, 1997: 5). Karya Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah
Indonesia Sedunia, merupakan buku pertama yang berisi daftar katalog yang menggunakan
bahasa-bahasa Nusantara.
Di samping melalui
katalogus, upaya memperkenalkan kembali naskah koleksi dalang dapat dilakukan
dengan cara menyusun daftar, langkah paling sederhana yaitu membuat nomor urut
dan judul, sebagaimana terlihat pada daftar koleksi Isac de St. Martin (1696).
Dibandingkan pendaftaran naskah (register), penyusunan katalogus lebih lengkap
lagi, meliputi: judul,
nomor naskah, ukuran (panjang dan lebar), jumlah halaman, jumlah baris, panjang
baris (atau blok teks), huruf, bahasa, kertas (termasuk ketebalan, warna, atau
fisik), cap kertas, garis tebal dan garis tipis, kuras, garis panduan,
pengarang, penyalin, tempat dan waktu penulisan, keadaan naskah, pemilik,
pemerolehan, gambar atau ilustrasi, isi naskah, dan catatan lainnya (Mulyadi,
1994: 34; 38—41).
Terhadap naskah yang
berada di pesisir utara Jawa Barat, katalogisasi naskah kuno kebanyakan
dilakukan pada koleksi keraton Cirebon sedangkan di luar itu, seperti
Indramayu, belum mendapatkan perhatian. Bahkan, jika diperhatikan,
inventarisasi atau katalogus naskah empat keraton Cirebon dilakukan berulang
kali oleh lembaga yang berbeda-beda. Padahal, menurut Behrend (1988: 29), sebagian
besar koleksi naskah Cirebon dimiliki secara pribadi dan lebih sulit
dimanfaatkan daripada yang ada di keraton Jawa Tengah yang dapat diakses oleh
publik.[5] Dari koleksi perorangan itu, diantaranya tersebar ke
pedesaan Indramayu, lalu disalin dan digubah sesuai dengan kebutuhan.
Katalogus naskah yang secara khusus mengangkat naskah
Cirebon dapat dilihat pada Pencatatan,
Inventarisasi, dan Pendokumentasian Naskah-Naskah Cirebon. Dalam laporan
penelitian itu, Pudjiastuti, Munandar, dan Mahayana (1994: 2; 87—89) berhasil mendeskripsikan 189 naskah koleksi empat keraton
Cirebon: Kaprabonan 32, Kasepuhan 65, Kanoman 9,
dan Kacirebonan 14, sisanya koleksi perorangan. Satu di
antara koleksi pribadi itu adalah dalang H Abdus Samad, dari Suranenggala
Cirebon, dengan kode dan judul: ADS 001 Serat
Yusuf; ADS 002 Jaransari Jaranpurnama;
dan ADS 003 Tarekat. Semua naskah yang
dideskripsikan meliputi: koleksi, kode, judul naskah, jenis, bentuk, bahasa,
aksara, bahan, ukuran halaman, ukuran, teks, halaman yang ditulis, jarak antar
baris, jumlah baris, warna tinta, rubrikasi, ilustrasi, penanggalan, dan
keterangan.
Tentang naskah-naskah keraton Cirebon juga didata oleh
Ekadjati dan Undang (1999: 69) dalam Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Katalog ini banyak memuat naskah-naskah koleksi keraton
Kasepuhan dan Kacirebonan, serta naskah-naskah yang berasal dari Parahyangan. Deskripsi fisik pada
masing-masing naskah meliputi: kode naskah, kode proyek, judul, bahasa, aksara,
bentuk, nomor rol dan nomor urut, jumlah halaman, dan bahan naskah, termasuk
keadaan fisik, waktu dan tempat penulisan atau penyalinan, serta asal naskah. Satu-satunya naskah yang menyinggung tentang Indramayu pada
katalog tersebut yakni Wawacan Carbon,
ditulis seorang pengikut Bagus Rangin, buronan Belanda, Ki Demang Pamayahan (Indramayu)
pada tahun 1805, berupa candrasengkala. Begitu juga dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, naskah yang berasal dari
Juntinyat Indramayu hanya Jaransari-Jaranpurnama,
di dapat dari Van de Weg. Naskah ini diketik dalam bentuk ringkasan oleh
Mandrasastra pada tahun 1934—1940 (Behrend, 1997: 46—47 dan 122).
Satu-satunya
penelitian yang mengungkap pernaskahan Indramayu adalah Kearifan Lokal Dalam Naskah‐Naskah Pesisir Indramayu: Pengembangan Budaya Pesisir
Melalui Knowledge Management System
(Christomy dan Nurhata, 2013). Secara umum, laporan penelitian ini menguraikan
kondisi pernaskahan, jumlah dan persebaran naskah, serta kearifan lokal yang
ada didalamnya, yang dapat dikelompokkan menjadi: naskah sejarah, babad,
primbon, tasawuf, dan doa-doa. Mengenai
judul-judul naskah lengkap dengan deskripsinya juga disebutkan di dalamnya.
Dari uraian di atas
jelaslah bahwa, penelitian yang secara langsung dan khusus mengangkat naskah
koleksi pribadi dalang Ki Ahmadi dan Ki Sonda (dalang wayang golek cepak), Ki
Gonda (dalang wayang kulit purwa), serta Wa Karyo (dalang macapat) belum
dilakukan. Dari keempat dalang tersebut hanya Ki Ahmadi yang masih bisa ditemui,
sisanya hanya koleksinya yang tertinggal: wafat. Artikel ini berusaha
mengidentifikasi situasi pernaskahan dan inventarisasi naskah keempat dalang
itu. Masalah penanggalan dan penulis serta pemanfaatan naskah juga menjadi
pokok bahasan dalam artikel ini.
Situasi Pernaskahan
Secara umum, situasi
pernaskahan di Indramayu bertalian kuat dengan mistis atau klenik karena, para
pewaris kerap memperlakukannya sebagai benda keramat yang mampu memberikan
kekuatan gaib. Praktek demikian biasanya dilakukan oleh orang yang tidak dapat
menjangkau isi teks dalam naskah: tidak bisa membacanya. Sebagai contoh, 39
naskah koleksi Ki Sonda ditempatkan di tengah lubang pohon besar, di kuburan
keramat oleh keluarganya (pewaris); hal yang mustahil dilakukan oleh dalang Ki
Sonda yang biasa membacanya sebagai bahan pementasannya. Naskah-naskah yang
kebanyakan ditulis dengan menggunakan pensil itu kondisinya memprihatinkan,
banyak yang basah terkena hujan.
Bagi pewaris yang
memahami signifikansi naskah tetap merawat dengan segala keterbatasan yang
dimiliki sebagaimana Ki Ahmadi. Naskah-naskah yang dahulu dibaca oleh dalang
itu, meskipun sudah rusak terberai, ia masukan ke dus lapuk. Ia tidak lagi membacanya
karena penglihatannya sudah berkurang, sembari menyadari bahwa setiap lembar itu
masih berharga. Sebanyak 32 naskah koleksinya yang kebanyakan menggunakan
kertas eropa itu, tanpa halaman awal dan akhir. Demikian pula Wa Karyo yang
memiliki 9 naskah. Meskipun kondisi naskah-naskah itu tidak terawat, bercampur
dengan buku-buku penuh debu dan tidak lagi dibaca karena pendengaran dan
penglihatan pemilik semakin menjauh, namun ia tidak membuangnya. Dari sekian
banyak naskah-naskah koleksinya hanya tiga yang tersimpan di rumahnya, sisanya sudah
diberikan ke orang lain.
Berbeda dari ketiga
dalang tersebut di atas, kasus Ki Gonda lain lagi ceritanya. Putra dalang Ki
Sumyuk ini dahulu memiliki banyak naskah namun yang tersisa hanya 2, Pramakawi Jaya Binangun dan
Dewi Murtasiah, termasuk wayang-wayang yang pernah
digunakan untuk mendalang pun hanya beberapa saja yang masih ada. Ki Sumyuk
adalah dalang wayang kulit ternama pada pertengahan abad 20, dikenal di seluruh
pelosok Indramayu, jauh melebihi putranya. Menurut
pengakuan Ki Gonda, peninggalan orang tuanya itu dijual untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya.
Jika tidak segera
dipreservasi atau konservasi, musnahnya naskah-naskah koleksi dalang tinggal menunggu waktu. Ancaman dari
pihak tertentu yang dengan mudahnya mengeluarkan fatwa syirik bagi penyimpan
naskah turut mempercepat proses perusakan itu. Tingkat keterbatasan (sedikit)
generasi muda dalam membaca dan memahami naskah juga acap berakhir pada
kesimpulan bahwa naskah tidak bermanfaat bagi kehidupan dewasa ini, oleh
karenanya tidak perlu mendapatkan perawatan serius. Dengan kalimat lain, naskah
belum sepenuhnya disadari sebagai benda cagar budaya yang mambawa pencerahan
bagi peradaban suatu bangsa. Padahal, pengakuan sarjana Barat pada masa lalu,
jelas sekali bahwa teks yang ada di Indonesia penting untuk dipelajari karena
terdapat informasi yang berguna baik oleh ahli sejarah, lungistik, antropolog,
maupun mereka yang memiliki perhatian atas ilmu teologi (Robson, 1994: 7).
Naskah Koleksi Dalang
Judul naskah koleksi
dalang kebanyakan ditulis pada halaman sampul depan, terutama naskah yang
memuat kata jejer yang digunakan
untuk mendalang. Naskah-naskah yang tidak memiliki judul karena bagian awal dan
akhirnya tidak ada: rusak atau hilang. Pemberian judul bagi naskah tanpa judul selanjutnya
akan merujuk pada naskah lengkap yang memuat judul, yang memiliki kesamaan isi;
jika tidak ada maka memilih tokoh utama dalam suatu cerita; atau mengacu ke awal
kalimat yang dianggap lebih mewakili (penting). Adapun kata jejer dan sigeg yang ada pada tanda kurung siku dalam beberapa teks tertentu
merupakan pemarkah fungsi naskah. Berikut di bawah ini judul naskah koleksi
empat dalang.
Koleksi Wa Karyo 8 naskah: Brawijaya 12; Nabi Yusuf; Nabi Yusuf; Babad Cirebon; Durakman Durakim; Petarekan
(zikir tarekat); Petarekan (sifat
wajib Allah 20); dan Kejawen.
Koleksi Ki Gonda Winata 2 naskah: Pramakawi Jaya Binangun dan Dewi
Murtasiah.
Koleksi Ki Sonda 37 naskah terdiri atas 47 teks: warna-warni
(Jaran Sari Jaran Purnama, Baron Sekeder
Syekh Mintuna, Serat Menak Umar Maya, dan Raden Selarasa/Serat Jatiswara); Kejawen; Babad Darmayu dan Babad Cerbon [jejer]; Suryaningrat
Dewiningrum [jejer dan sigeg]; Sadat
Kacerbonan; Kidung Waringin Sungsang (Kidung Waringin Sungsang, Tudung Sangkala,
Arya Jawa, dan Bahul Manda); Lamsijan/Lakon
Gakur [jejer dan sigeg]; Sabda Palon
Naya Genggong/Kembang Balang [sigeg]; Donga Kacerbonan; Donga Jawa; Lanang Raja
Jenggi Madinah [Jejer]; Dewi
Murtasiah; Lamsijan Mekah [Jejer]; Sabda Palon Naya Genggong; Donga Jawa; Suleman Mesir [sigeg] dan Negara
Magrabi Raja Cina [jejer]; Pengging Melawapati [jejer]; Suleman Mesir [jejer]; Brawijaya; Babad Darmayu
[sigeg dan jejer] dan Babad Darmayu [jejer]; Prabu Maha Punggung
Medang Kawulang; Lamsijan [sigeg]; Donga Dermayon; Kamaripatan 1; Kamaripatan 2; Kamaripatan 3; Perlambang
Gunung Sari-Tawang Retna Prabu Teja [jejer]; Kamaripatan; Raden Walangsungsang dan Sang Hyang Gempol Galuh [jejer]; Donga Jawa;
Pengging Melawapati Prabu Citra Kesuma Astina [Jejer]; Wirayat Amad Mukadam/Bumi
Loka [jejer]; Ken Arok dan
Sangkuriang Riwayat; Kejawen; Kejawen; Pengging Melawapati/ Ngurawan Sakudana (Nagara Pengging dhinginne
Astina) [sigeg]; Buka Panggung; dan Adam
Turun Ampa Saking Suarga/Tapel Adam
[jejer]. Dari jumlah tersebut, terdapat 15 teks yang memuat term jejer dan kata sigeg 7 teks.
Koleksi Ki Ahmadi 32 naskah terdiri atas 48 teks: Abhimanyu; Babad Darmayu [jejer]; Martabat
Pitu dan Sek Lemabang; Ngibnu Umar
[jejer]; Umar Maya Umar Madi; Dewi Masita; Brawijaya; Babad Cerbon; Dewi
Jaradhah; Tawang Retna Pralambang [jejer dan sigeg]; Prabu Sarehas Lukman Hakim [jejer]; Prabu Sri Nalendra; Nabi
Adam; Nawang Wulan Raja Rum [jejer]; Prabu Majapahit Brawijaya; Dewi Sarirasa;
Nabi Dawud Raja Mesir [jejer]; Negara Destam [jejer]; Crita Menak [jejer];
Azimat; Bharatayuda [jejer]; Dewi Rengganis; Warna-warni (Puser Bhumi, Kadiri,
Bali, dan Crita Menak [jejer]);
Doa-doa; Bharatayudha [jejer]; Lakon Carangan Nagari Windu [jejer] dan Obat-Obatan; Cerbon Girang [jejer] dan Suleman [jejer]; Primbon dan Alamat Gerhana; Warna-warni (Pangeran
Puger, Purwatjarita Nabi Adam [jejer], Idadjil [jejer], dan Sedjarah Arab [jejer]); Negara Madayim [jejer]
dan Marifatullah; Bental Jemur [jejer]
dan Unuk Marjatan [jejer]; Warna-warni
(Yaman Prabu Nurkaman [jejer], Babad Junti [jejer], dan Babad Cerbon [jejer]). Teks yang memuat kata jejer berjumlah 23; kata sigeg
hanya 1.
Aksara dan Bahasa
Aneka pembahasan yang
diuraikan dalam setiap naskah koleksi dalang umumnya menggunakan aksara Jawa,
aksara Pegon dan Latin masing-masing hanya satu naskah. Sistem aksara Jawa
merupakan turunan Pasca-Palawa, sedangkan Pegon adalah turunan dari aksara
Pasca-Arab (Sedyawati, 2008:1). Meskipun
bentuk aksara naskah dalang cenderung tidak rapi tetapi masih jelas terbaca, berbeda dari naskah koleksi keraton Cirebon yang kebanyakan tulisannya lebih rapi dan perawatannya pun lebih baik.
bentuk aksara naskah dalang cenderung tidak rapi tetapi masih jelas terbaca, berbeda dari naskah koleksi keraton Cirebon yang kebanyakan tulisannya lebih rapi dan perawatannya pun lebih baik.
Naskah yang
menguraikan wilayah Indramayu dengan menggunakan dwiaksara dan dwibahasa dapat
dijumpai di Perpustakaan Nasional RI, 134a Cs27, Indramayu: aksara Jawa dan Latin, bahasa Jawa dan Belanda. Arsip
kolonial ini didahului dengan teks aksara dan bahasa Jawa, terjemahannya di
bagian samping kanan dengan aksara Latin bahasa Belanda. Baik aksara Latin
maupun Jawa pokok bahasannya sama: mengenai luas wilayah Indramayu dan persebaran
penyakit kusta pada abad ke-19 di sejumlah desa di Indramayu bagian timur.
Penggunaaan aksara
Jawa tidak terbatas pada teks babad, tembang macapat, atau “naskah jejer”, melainkan teks tarekat atau
tauhid yang banyak memuat bahasa Arab. Teks-teks berbahasa Arab itu biasanya
dilengkapi dengan terjemahan. Larson (1997: 3) menjelaskan, pada proses
penerjemahan, bentuk dari bahasa sumber (source
language), dalam hal ini Arab, digantikan oleh bentuk bahasa target (receptor language), yakni Jawa. Tentu
saja, proses penerjemahan itu melibatkan leksikon, struktur gramatikal, situasi
komunkasi, dan konteks kultural dari teks bahasa sumber. Untuk menentukan
maknanya harus dianalisis, lalu direkonstruksi agar memiliki makna yang sama,
dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal, serta konteks budaya,
sesuai dengan bahasa target.[6]
Aksara Jawa sebagai
media untuk mengabadikan kearifan lokal dan menyampaikan pesan kepada orang
lain merupakan ijtihad luar biasa dari sang penyalin. Melalui aksara Jawa,
pelbagai informasi dapat dipahami dengan lebih sederhana oleh zamannya. Upaya
identifikasi atas persentuhan lintas budaya juga dapat dilihat dari fenomena
dwibahasa sebagaimana tercatat pada naskah-naskah koleksi empat dalang di atas.
Naskah Petarekan (7 zikir tarekat)
misalnya, pada halaman empat, “Allahhumma
anta maksudi waridlaka matlubih atini mupibadtaka wamaripataka”.[7] Naskah ini memuat zikir tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah,
Istiyah, Anfasiah, Syatariyah, Jaediyah, dan Muhammadiyah. Pada naskah Tarekat (sifat wajib 20) halaman awal juga
sama, “Wujud, kidam, baka mukalapatulilkawadisi:
tegese wujud ana, tegese kidam dhingin, tegesse baka langgeng, tegese mukallapatulilkawadisi
iku mukalapate Allah. Walkiyamu binapsihi tegese pra sejenan sakehe kang anyar”.[8] Demikian pula naskah Marifatullah,
“Awaludinni marihpatulloh itangalah”[9] dan naskah Doa-Doa,
“Assalamungalahekum aladdidhari minnal
mukminina walmusliminna wa inna insahalohhubikum lakikun…”.[10]
Tentang Penanggalan dan Penulis
Berdasarkan
catatan tahun atau perkiraan penyalinan, naskah koleksi dalang ditulis pada
rentang waktu sekitar dua abad, dari abad 19 sampai 20. Tradisi kesusastraan
itu tentu saja lebih dulu Cirebon yang usia naskah-naskahnya lebih tua. Perkembangan
kesusastraan Indramayu pada masa itu bertalian erat dengan seni pertunjukan,
dan dalang berperan penting di dalamnya. Dalang-dalang itulah yang memelihara
naskah-naskah Indramayu hingga saat ini, meskipun kondisinya tidak sesuai
dengan yang diharapkan.
Naskah koleksi dalang kebanyakan tidak memiliki titimangsa
dan nama penulis, hanya beberapa saja yang memuat informasi penting itu, utamanya
naskah tembang macapat, seperti Pramakawi
Jayabinangun koleksi Ki Gonda. Naskah ini ditulis oleh Suralaksana pada
hari Senin 25 Juni 1900M/1319H. Penulis berganti nama, Sindupraja, dan pernah
menduduki tiga jabatan strategis: Kuwu Manten Besi, Mantri Kawedrahan, dan Ngabehi (Sindupraja),
“Ijrah tahun 1900, ijrah nabi 1319, waktu
nulis Pramakawi puniki ing sasih Muludh tanggal ping 25 dhinten Senen wanci
Mangsa Kasa, Jaya Binangun. Ingkang nyerat lontar kawi puniki Kuwu Manten Besi
Suralaksana, Mantri Kawedrahan Ngabehi Sindhupraja”. Waktu penulisannya
dilengkapi dengan penanggalan Jawa, yakni Mangsa Kasa. Jumlah hari dalam mangsa
kasa (mangsa ke-1) 41 hari, 21 Juni—1 Agustus. Lamanya setiap mangsa dalam satu
tahun, yang terdiri atas 12 mangsa, tidak sama. Penentuan setiap mangsa itu dimulai
sejak era Raja Surakarta pada tahun 1855.[11]
Penulisan informasi penting itu juga berlaku bagi naskah Kejawen (doa-doa Jawa) koleksi Wa Karyo yang
ditulis oleh Sarman pada Jumat Wage 12 Rabiul Awal, 1934 Jim Akhir, “Awit mulahing damel Rabingulawal ping 12 Jumah
Wage Jim Akir 1934, ingkang damel nami Sarman”. Selain itu, berlaku juga
bagi naskah Kidungan koleksi
Ki Sonda. Naskah yang digunakan untuk mengidung ini ditulis oleh Sugrawijaya
pada tahun 1927, “Kula ingkang nyarat
wasta Sugrawijaya, 1927” (halaman 15). Beberapa catatan pribadi penulis dibubuhkan
di dalamnya, seperti mengenai waktu transaksi jual beli wayang, pembelian pohon
baujan, dan pindahan rumah ke Desa Bangkir Indramayu tahun 1929, “ngawit ngalih ning Bangkir wulan iki
jumadil awal tanggal 14 dina Jumah Wage 1929”. Catatan penting lainnya
tentang seorang ahli pembuat wayang golek bernama Wilut dan mengenai transaksi
jual beli wayang, “Wilut Buyut Tambi,
Gang Kulon, bos golek/pande. Wilut pande dalang wayang, kakange jual beli
dalang wayang”.
Berbeda dari ketiga naskah di atas, pada naskah dalang yang memuat
istilah jejer atau sigeg (termasuk naskah keagamaan) hampir
semuanya tidak memiliki titimangsa dan keterangan nama penulis/penyalin. Untuk memperkirakan waktu penulisan naskah dapat dilakukan
melalui empat cara: bukti dari dalam (interne
evidensi) dan bukti dari luar (externe
evidensi); berdasarkan ejaan; merujuk ke buku (naskah) yang menyebutkan
nama itu; dan melihat cap kertas (Dipodjojo, 1996: 9—24). Pada cara pertama,
naskah Babad Darmayu koleksi Ahmadi
dapat dijadikan sebagai contoh. Memperkirakan waktu penulisan bagi naskah yang tidak
memiliki angka tahun ini dapat didekati dengan cara interne evidensi. Hal penting yang perlu disandingkan disini adalah
konteks peristiwa yang diceritakan dalam naskah tersebut, yakni peperangan pasukan
Bagus Rangin melawan kolonial Belanda dan penguasa Pribumi (bupati).
Berdasarkan catatan kolonial, sebagaimana diuraikan oleh Marihandono dan Van
Der Kemp,[12] peristiwa pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon pada kurun
waktu awal abad ke-19, terutama masa Daendels 1808—1811. Jadi, perkiraan waktu
penulisannya setelah tahun itu, atau setelah tahun 1818.[13] Waktu perkiraan menjadi berbeda ketika mendasarkan pada naskah
Babad Darmayu koleksi Museum Sir
Baduga. Sebagaimana disebutkan pada manggala, naskah ini ditulis pada tahun
1900, dan ini yang tertua di antara 13 naskah lainnya. Dengan kalimat lain, diperkirakan
waktu penulisan Babad Darmayu koleksi
dalang Ahmadi setelah tahun 1900.[14]
Pada koleksi Ki Gonda, naskah Dewi Murtasiah, dapat memperhatikan
cap kertas bergambar singa memegang pedang dalam lingkaran dan tulisan
melingkar: CONCORDIA CRESCUNT RESPARVAE. Mengacu pada Churcill (contoh 158 dan
LXXXVII),[15]
kertas ini diproduksi oleh firma Van Der Ley. Naskah itu juga dilengkapi dengan
cap bandingan (Countermark): VAN
GELDER. Cap kertas dari Belanda ini diproduksi di Wormer, Holanda Utara, tahun
1803.[16]
Dengan kalimat lain, waktu penulisan naskah setelah tahun produksi.
Di dalam naskah Petarekan (7 zikir tarekat) memuat cap kertas EENDRAGHT MAAKT MAGHT. Jika disesuaikan ke Watermarks in
paper (Churcill, 1935:28), perkiraan waktu penggunaannya tahun 1667—1800. Dugaan
kuat naskah ini ditulis setelah tahun 1775 karena di dalamnya disebutkan zikir
tarekat Muhammadiyah (Sammaniyah) yang didirikan oleh Muhammad ibn Abdul Karim
al-Madni al-Syafii al-Samman (1718-1775).[17] Jadi, dari 79 naskah koleksi dalang tersebut di atas, naskah 7
zikir tarekat adalah yang tertua. Sebuah naskah yang usianya lebih tua lagi yaitu Purwaka Caruban
Nagari (bukan koleksi dalang) ditulis oleh kerabat istana Kasepuhan, Pangeran
Arya Carbon, tahun 1720 M.[18]
Satu hal yang perlu dipertimbangkan
di sini selain empat cara yang dipaparkan Dipodjojo (1996), yaitu dengan
memperhatikan catatan-catatan sebelum atau sesudah teks serta catatan pada
bagian sampul, naskah Babad Cerbon
misalnya. Naskah yang ditulis oleh Dulpari ini, pada beberapa halaman terakhir hanya menerangkan waktu
penulisan yang tidak lengkap, Minggu tanggal 26, “Isun amimiti nulis ing dina akad punika.
Ing tanggal nemlikur sasihe. Sasih tiga punika. Kaetang sasih Cina. Sawab kaula
nganggur lumayan kangge engetan”.[19] Melihat catatan sampul
terdapat informasi waktu dan tempat pemerolehan: Sindang Indramayu, tahun 1862. Penaanggalan itu bisa
dijadikan pertimbangan dalam memperkirakan waktu penulisan. Dengan kalimat lain
naskah Babad Cerbon ditulis sebelum
tahun 1862.[20]
Demikian pula naskah Buka Panggung
yang memuat tanda tangan Ki Sonda lengkap dengan penanggalannya, “1 Januari 1950”, bisa dijadikan acuan
perkiraan waktu penulisan.[21]
Fungsi Naskah
Jumlah keseluruhan
naskah koleksi dalang 79, terdiri atas 105 teks; naskah yang memuat kata jejer 38 sedangkan kata sigeg ada 7. Sebagian besar naskah-naskah itu berisi tiga epos besar
terkenal: Hindu, seperti Ramayana dan
Mahabharata; Jawa, seperti Ken Arok dan Babad Cirebon; dan Islam, seperti Serat Menak dan Serat Yusuf.
Selain ketiga wiracarita tersebut adalah naskah yang berisi ajaran tasawuf atau
tarekat, yang menurut A. Johns (dalam Liaw Yock Fang, 1993: 41) pernah berperan besar dalam menumbuhkembangkan
Islam di Nusantara karena, para sufi mampu menyesuaikan ajaran Islam pada
tingkat masyarakat tersebut berada.
Ciri-ciri
naskah yang digunakan untuk mendalang memuat istilah jejer dan sigeg, satu
naskah terdiri atas lebih dari satu teks, serta jumlah halamannya lebih sedikit
(menyerupai ringkasan). Adanya sejumlah kata jejer dan sigeg
menandakan bahwa naskah tersebut berfungsi sebagai referensi pementasan seni
pertunjukan, terutama wayang. Jejer adalah tahapan lakon pada seni pertunjukan wayang (adegan
cerita baru). Menurut Wibisono (2001: 333) yang disebut jejer adalah aspek ruang pada seni pedalangan atau disebut dengan
adegan. Beberapa contoh yang tercatat pada naskah koleksi dalang adalah: jejer Madinah (dalam naskah Lanang
Raja Jenggi); jejer Mekah (naskah
Lamsijan); jejer Mesir (naskah Suleman); jejer Darmayu, jejer
Palembang dan jejer Sumedang
(naskah Babad Darmayu), dst.
Sementara itu sigeg berarti berhenti,
sigeg gunungan maksudnya cerita
berhenti dulu lalu ditancapkan gunungan wayang atau kelir, kemudian beralih ke
cerita lain namun masih berkaitan dengan cerita sebelumnya. Antara satu adegan
dengan adegan lain semuanya saling berhubungan. Baik jejer maupun sigeg
keduanya merupakan pemarkah pergantian cerita. Pada macapat, biasanya naskah Nabi Yusuf (tembang macapat) yang
digunakan, terutama saat ritual puputan (lepasnya tali pusar bayi) dan tolak
bala bagi bayi, sedangkan sandiwara (masres/setoprak)
biasanya melakonkan cerita babad atau kronik, seperti Babad Cerbon dan Babad
Darmayu. Dua epos Jawa (Cirebon) yang berisi cerita asal-usul leluhur
masyarakat Cirebon dan Indramayu itu memiliki jumlah salinan paling banyak, dan
ceritanya paling digemari oleh masyarakat pemiliknya. Maka, tidak mengherankan
jika cerita asal-usul kedua daerah itu kerap dijadikan tema dalam pentas
kesenian sandiwara pada hajatan khitanan atau pernikahan.
Di Indramayu ada dua
jenis wayang: wayang golek cepak dan wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang
golek cepak menempati posisi penting dalam menyampaikan cerita-cerita yang
bernafas Islami karena seringkali menyajikan cerita-cerita epos Islam, seperti
cerita Nabi Adam, Umar Maya, Nabi Muhammad dan para sahabatnya, dan Amir Hamzah.
Tidak mengherankan jika kesusasastraan Islam itu banyak tersimpan di rumah
dalang wayang.
Wayang golek cepak memiliki
nama lain Menak Kambyah. Menak merujuk pada naskah Serat Menak sedangkan Kambyah atau anbiya>´ ‘nabi-nabi’ merujuk pada cerita para
nabi. Artinya, pertunjukan wayang ini lebih menekankan pada kisah perjuangan
Amir Hamzah dan cerita nab-nabi atau cerita yang bernafaskan islami, epos Hindu
dan Jawa lebih jarang digunakan. Serat
Menak merupakan gubahan dari Hikayat
Amir Hamzah; Hikayat Amir Hamzah
bersumber dari kesusastraan Persia Oissa’i
Emir Hamza.[22] Adapun naskah Crita
Menak yang di dalamnya memuat term jejer,
adalah gubahan dari Serat Menak. Dengan
demikian Crita Menak adalah kreasi
dalang yang dalam perekembangannya diasosiasikan dengan wayang golek cepak.
Pada wayang kulit
purwa juga demikian, tidak hanya menyuguhkan epos Mahabharata, Ramayana, Babad Cirebon, Babad Darmayu, tetapi Crita Menak atau kisah para nabi dan
sahabatnya. Menurut Ricklefs (2007: 81—83), dalam wayang kulit, dua cerita
panji epos Hindu itu sudah terpengaruh Islam, Serat Rama dari Ramayana
sedangkan Serat Bratayuda dari Bharatayuda.[23] Adapun babad menurutnya buah karya masyarakat pribumi,
tidak ada tanda terinspirasi dari Islam, juga tidak ada dalam tradisi Jawa
Kuno. Kesusastraan jenis babad ini merupakan bagian terpenting dalam sastra
Jawa.
Daftar Pustaka
Abrori,
Ahmad. 2005. “Tarekat Sammaniyah; Sejarah Perekembangan dan Ajarannya”. Dalam Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia.
Kencana: Jakarta.
Behrend,
T. E dan Pudjiastuti, Titik (penyunting.). 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3 A Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, T. E. “Small Collections of Javanese
Manuscripts in Indonesia”. Archipel. Volume
35,. pp. 23-42 @Persee 1988.
Chambert-Loir, Henri dan Fathurahman, Oman.
1999. Khazanah Naskah: Panduan Koleksi
Naskah Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Nusantara bekerja sama dengan EFEO.
Christomy,
Tommy dan Nurhata. 2013. Kearifan Lokal
dalam Naskah-Naskah Pesisir Indramayu: Pengembangan Budaya Pesisir Melalui
Knowledge Management System. Laporan Akhir Hibah Riset Awal Univesitas
Indonesia.
Churchill,
W. A. 1935. Watermarks in Paper in Holland, England, France, etc, in the XVII
and XVIII centuries and their Interconnection. Amsterdam.
Dipodjojo, Asdi S. 1966. Memperkirakan
Titimangsa Suatu Naskah: Yogyakarta: Lukman Ofset.
Ekadjati,
Edi. S. dan Undang A. Darsa (penyusun). 1999. Oman Fathurahman (penyunting). Katalogi Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid
5A Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fathurahman,
Oman, dkk. 2010. Filologi dan Islam
Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat,
Puslitbang Lektur Keagamaan.
Hasyim,
Rafan S. 2011. Seni Tatah dan Sungging
Wayang Kulit Cirebon: Pengantar Reka Visual dan Makna Simbolik. Cirebon:
Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon.
Ikram,
Achadiati. 1997. Filologia Nusantara.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Kasim,
Supali. 2013. Budaya Dermayu:
Nilai-Nilai, Historis, Estetis, dan Transendental. Yogyakarta:
Poestakadjati.
Larson,
Mildred L. 1997. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language
Equivalence. Second Edition. Amerika:
Unversity Press of America.
Liaw Yock Fang. 1993. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik, Jilid II, Jakarta: Erlangga.
Mulyadi,
Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi
Melayu di Indonesia. Lembaga Sastra. Edisi Khusus No. 24. Depok: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Pudjiastuti,
Titik. 2006. Seri Kajian Filologi; Naskah
dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.
Pudjiastuti,
Titik; Munandar, Agus Aris; dan Maman S. Mahayana. 1994. Laporan Penelitian. Pencatatan, Inventarisasi, dan
Pendokumentasian Naskah-Naskah Cirebon. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Ricklefs,
M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern.
Terj. A History of Modern Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Robson,
S. O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi
Indonesia. Jakarta: RUL.
Ruhalia.
2003. Babad Darmayu; Suntingan Teks dan Analisis Isi. Jakarta: PNRI.
Sedyawati,
Edi dkk. 2008. Kedwiaksaraan dalam
Pernaskahan Nusantara: Kajian Tipologi. Jakara: Pusat Bahasa.
Van
Der Kemp, P.H. 1979. Pemberontakan di Cirebon Tahun 1818. Yayasan Idayu:
Jakarta.
Wibisono,
Singgih. 2001. “Wayang Purwa” dalam Sastra Jawa; Satu Tinjauan Umum,
Jakarta: Pusat Bahasa, Balai Pustaka.
Wulandari, Sri. 2014. Grup Nominal Dialek Cirebon Berdasarkan Teks
Abad Ke-18 Sampai Dengan Abad
Ke-21. Tesis. UI
Depok.
Zoetmulder,
P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno
Selayang Pandang. Terjemahan Kalangwan.
A Survey of Old Javanese Literature. Jakarta: Jambatan.
Sumber Naskah
Babad Cerbon koleksi
dalang Karyo.
Babad Cerbon koleksi
keraton Kacirebonan.
Babad Darmayu koleksi
dalang Ahmadi.
Buka Panggung koleksi
dalang Sonda.
Cariyos Walangsungsang
koleksi Rafan Hasyim.
Crita Menak koleksi
dalang Ahmadi.
Dewi Murtasiah koleksi
dalang Gonda.
Doa-Doa koleksi dalang
Ahmadi.
Indramayu nomor panggil 134 a Cs 27, koleksi Perpustakaan Nasional
RI.
Kejawen koleksi Karyo.
Kidungan koleksi Sonda.
Petarekan (7 zikir
tarekat) koleksi dalang Karyo.
Petarekan (sifat
wajib 20) koleksi dalang Karyo.
Pramakawi Jaya Binangun
koleksi dalang Gonda.
[1] Diseminarkan
dalam Simposium Manassa di Padang, pada tanggal 18 September 2014.
[2]
Ada
pula yang mendefinisikan dalang sama dengan seniman, apapun keahliannya,
seperti penyanyi, aktor sandiwara, pemain alat musik, penari topeng, dll.
semuanya disebut dalang. Kasim, 2013: 209.
[3]
Wayang
berarti bayangan. Kata ganti wayang yang lebih sopan adalah ringgit, berasal dari kiratabasa ‘giri kang nganggit’. Banyak yang
berpendapat bahwa wayang adalah hasil kreasi Sunan Kalijaga. Sunan Gunungjati
juga dianggap sebagai seorang wali yang menciptakan wayang gunungan. Daerah
Indramayu dari masa Panembahan Ratu I (1568-1649) hingga Panembahan Girilaya
(1649-1667) masuk wilayah Cirebon. (Hasyim, 2011: 2).
[5]
Selama
peninjauan singkatnya ke Keraton Kasepuhan pada april 1985, ia diceritakan oleh
saudara tertua Sultan Sepuh bahwa Keraton tidak lagi memiliki banyak naskah,
tetapi selanjutnya ia mengetahui bahwa itu keliru, baik dari sumber Cirebon
(Kanoman) maupun pengetahuan orang-orang di Jakarta. Lihat Behrend (1988: 29).
[6]
Pada
prosesnya, terjemahan yang dilakukan oleh penulis, tidak hanya secara harfiah (form-based), dari bahasa sumber ke
bahasa target, melainkan di dalamnya terdapat komunikasi makna yang ada pada
bahasa sumber dengan menggunakan bentuk-bentuk alami pada bahasa target (meaning-based), atau yang disebut
dengan idiomatic translation (Larson,
1997: 15).
[7]
Maksudnya:
وَمَعْرِفَتِكَ
مَحَبَّتَكَ آتِنِي مَطْلُوْبِي وَرِضَاكَ مَقْصُوْدِي
أَنْتَ اللّهُمَّ; alih
aksara: Alla>humma anta maqs}u>di warid}a>ka mat}lu>bi
a>tini> mah}abbataka wama’rifatika, artinya: Ya Allah, Engkau adalah
tujuanku dan ridloMu adalah anganku. Berilah aku (ilmu yang mengantarkanku
untuk) mengenal diriMu dan berilah aku cintaMu. Aksara Arab pada naskah ini hanya
sebagai ilustrasi.
[8]
Artinya:
wuju>d qidam baqa´ mukhalafatu
lilh}awa>dis\i, artinya wuju>d
ada, artinya qidam
dahulu, artinya baqa´
abadi, artinya mukhalafatu
lilh}awa>dis\i itu berbeda dengan makhluk Allah. Walqiya>muhu binafsihi
artinya berdiri sendiri.
[10]
Artinya: Semoga
keselamatan tercurah untuk kalian wahai para penghuni kubur, dari orang-orang
beriman. Dan kami insya Allah akan menyusul kalian.
[11]
Mulanya, jumlah mangsa ada 10, kemudian menjadi 12, terdiri atas: mangsa Kasa
41 hari; Karo 23 hari; Katelu 24
hari; Kapat 25 hari; Kalima 27 hari;
Kanem 43 hari; Kapitu 43 hari; Kawolu 26 hari, jika kabisat 27 hari; Kasanga 25
hari; Kasepuluh 25 hari; Desta 23 hari; Sada 41 hari. Lihat Dipodjoyjo, 1996. 77.
[12]
lihat “Daendels dalam Naskah dan Cerita
Rakyat: Cerita yang Berkaitan dengan Daendels di Pantai Utara Jawa”. Makalah
ini disajikan dalam seminar internasional tradisi lisan iv yang diselenggarakan
di jakarta tanggal 2—5 oktober 2003. Lihat juga Van Der Kemp, P.H. 1979. Pemberontakan
di Cirebon Tahun 1818.
[14]
Lihat
Dipodjoyjo, dalam contoh naskah Hikayat Muhammad
Hanafiah dan Hikayat Amir Hamzah,
1996: 18—19. Naskah koleksi Museum Sri Baduga berupa tembang (dangding) yang ditulis lebih awal
daripada koleksi Ahmadi yang menggunakan kata jejer dan sigeg sebagai
pemarkah pergantian cerita. Jadi, naskah pertama adalah induk dari naskah
kedua.
[15] Firma
itu pembiat kertas terbesar di Belanda, sejak akhir abad ke-19 sampai perempat
pertama abad ke-19. Cap kertas ini adalah variasi baru, populer pada paruh
pertama abad ke-19 di Belanda Utara. Voorn, 1960, De Papiermolens in de Provincie Noord-Holland. Lihat Pudjiastuti,
2008: 16—17. Lihat juga Churcill (1935: 72).
[18]
Di
dalam kolofon disebutkan bahwa, Purwaka
Caruban Nagari yang berisi silsilah leluhur raja Cirebon ini digubah
berdasarkan naskah Negarakertabhumi.
Naskah ini ditemukan di Indramayu, di tukang jualan buku bekas (loak), sudah
disunting oleh Atja (1986).
[19]
Penulis adalah seorang tukang kayu
bernama Dulpari dari Pasar Sokawarna, ketika itu sedang berada di Sindang.
Penulis menyampaikan kepada pembaca untuk tidak menertawakan karyanya, karena
tulisannya jelek, juga memohon untuk ditambahkan jika ada kekurangan. Ia juga
mengaku sebagai orang bodoh yang tidak mengerti sastra. Uniknya lagi, karena
penulis meminta kepada pembaca untuk menambahkan jika melihat kekurangan,
pembaca pun mengikutinya dengan sedikit memberikan tambahan.
[21] Naskah Raja Jenggi (Pangeran Banyu Biru Putra Slingsingan) dan Kemarifatan juga terdapat nama ‘sonda’
pada halaman sampul, tetapi tidak ada keterangan apapun apakah itu nama penulis
atau pemilik.
[22]
Di Jawa, wiracarita Islam kebanyakan berasal dari tanah Melayu, seperti Serat Menak gubahan dari Hikayat Amir Hamzah dan Serat Yusuf gubahan dari Hikayat Yusuf. Persebaran wiracarita itu
tidak hanya di wilayah keraton tetapi juga di pesisir. Wiracarita keislaman
sesungguhnya merupakan lanjutan dari era Hindu, dengan corak warna berbeda,
namun apresiasi atas kesusastraan keduanya sama. Dalam De Roman van Amir Hamzah, van Ronkel menuturukan bahwa naskah Hikayat Amir Hamzah bersumber dari
kesusastraan Persia Oissa’i Emir Hamza.
Kepahlawanan Amir Hamzah tersebar di berbagai daerah di Nusantara dengan media
bahasa Melayu, lalu disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing (Damami,
2001: 317—318).
[23]
Runtuhnya kerajaan Hindu-Budha pada tahun 1527, tidak diikuti dengan warisan
tertulis kesusastraan Jawa Kuna tetapi terus berlanjut hingga ke zaman Islam,
yang mengalami proses adaptasi: Serat
Rama dari Ramayana, Serat Bratayuda dari Bharatayuda, dst. Melalui pertunjukan wayang kulit, kedua cerita panji yang sudah
terpengaruh Islam itu dipelihara dan dipertahankan (Ricklefs, 2007: 81—82).
*Artikel ini pernah diseminarkan dalam Simposium Internasional Manassa di Padang pada Desember 2014 yang bertema Naskah dan Relevansinya dalam Kehidupan Masa Kini, dan dimuat dalam Prosiding ber ISBN 9786021451427.
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
*Artikel ini pernah diseminarkan dalam Simposium Internasional Manassa di Padang pada Desember 2014 yang bertema Naskah dan Relevansinya dalam Kehidupan Masa Kini, dan dimuat dalam Prosiding ber ISBN 9786021451427.
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
Advertisement
EmoticonEmoticon