Oleh Nurhata
Menempatkan bahasa sehari-hari
masyarakat Indramayu sebagai bahasa mandiri yang terpisah dari Jawa, apalagi
terpisah dari Cirebon, adalah hal yang absurd. Pasalnya, belum ada kajian
penelitian tentang hipotesa itu. Ajip Rosidi menegasikan pandangan itu, dalam
makalahnya yang diseminarkan dalam Saresehan Basa Cerbon II. Menurutnya, jika
penentuan bahasa berdasarkan daerah, betapa banyaknya bahasa yang ada di
Indonesia. Cirebon saja, tidak dapat disebut bahasa (Bahasa Cirebon) karena
persentase pembedanya hanya 25% dari bahasa Jawa Yogyakarta/ Solo, selebihnya
sama dengan bahasa Jawa pada umumnya, apalagi Indramayu. Paling tidak pendapat
itu melalui proses penelitian panjang dengan menggunakan metode linguistik.
Bahasa Lisan dan Bahasa Tulisan
Untuk menyederhanakan, mari kita
perhatikan bahasa lisan dan bahasa tulisan yang ada di Indramayu. Bahasa lisan
di daerah ini, dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa. Kalaupun
kominukasi antara masyarakat Indramayu dengan masayarakat Jawa (pusat), Yogyakarta
atau Surakarta, tidak begitu lancar akan tetapi kedua belah pihak bisa saling
memahami. Gejala demikian sebetulnya lazim di temukan di setiap daerah, semakin
jauh dari pusat kekuasaan/kebudayaan maka bahasanya pun semakin berbeda, tetapi
masih dalam satu rumpun bahasa. Demikian pula dengan bahasa tutur masyarakat
Cirebon dan Indramayu, pembedanya hanya pada kosa kata tertentu saja, seperti reang ‘saya’ dan nok ‘perempuan muda/kecil’. Dalam komunikasi sehari-hari, antara
dua daerah tersebut tidak mengalami kendala apapun.
Sementara itu, dalam bahasa
tulisan, hampir tidak ada perbedaan berarti antara sumber tertulis yang
terdapat dalam catatan penduduk Indramayu dan penduduk Cirebon. Keduanya sama
persis. Tidak hanya dalam masalah bahasa melainkan juga masalah tema yang
diuraikan di dalamnya. Persoalan demikian dapat dilihat dalam naskah-naskah (manuscripts) koleksi masyarakat Indramayu.
Naskah-naskah di daerah ini bersumber dari Cirebon, yang pada beberapa abad
silam menjadi pusat skriptorium. Rupanya, masyarakat Indramayu, terutama
dalang, kerap berkunjung ke Keraton Cirebon atau keluarga keraton hanya untuk
menyalin naskah-naskah. Selanjutnya, naskah-naskah itu dideklamasikan melalui
seni pertunjukan wayang, sandiwara, macapat, atau digunakan untuk keperluan
apapun sesuai dengan kepentingan sosial. Kata reang atau nok, yang
kerap disebut-sebut sebagai unsur pembeda, tidak pernah tertulis dalam naskah
Indramayu. Hampir, semuanya dalam naskah Indramayu menggunakan kata isun/ kula dan bayi untuk menyebut kata ‘saya’ dan ‘perempuan muda/kecil’. Dengan
kalimat lain, tidak ada bahasa Indramayu, yang ada adalah bahasa Jawa dialek
Cirebon.
Naskah dan Bahasa
Naskah adalah wujud fisik yang
dapat menghadirkan fenomena kebahasaan masa lalu. Tentu saja, segala genre dan
bentuk kesusastraan klasik yang diuraikan di dalamnya menggunakan bahasa.
Melalui bahasa, dengan menggunakan sistem aksara Jawa dan Pegon, berbagai macam
informasi, ilmu pengetahuan, atau kesusastraan, tersebar di tengah masyarakat.
Sebagai jejak budaya, naskah kuna dapat digunakan sebagai
peta untuk mengidentifikasi fenomena bahasa, juga budaya, yang ada di setiap
daerah. Indramayu misalnya, yang oleh para seniman lokal dianggap memiliki
bahasanya sendiri (bahasa Indramayu) dapat meniliknya dari sini. Setidaknya,
dari ratusan naskah yang ditemukan di desa-desa di Indramayu, menunjukan bukti
linguistik yang tak terbantahkan. Dari ratusan naskah yang berisi berbagai
macam genre, bahasanya serupa dengan bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah
Cirebon, bahkan sama dengan naskah-naskah yang berasal dari Jawa. Artinya,
bahasa kesusastraan (tertulis) antara masyarakat Jawa (secara umum), Cirebon,
dan Indramayu, adalah sama.
Bagaimana proses persebaran
bahasa itu, yaitu melalui tradisi penyalinan naskah-naskah. Sebagai contoh, Serat Menak, suatu naskah yang berkisah epos
Amir Hamzah. Cerita ini bersumber dari Persia, judul aslinya Oissa’i Emir Hamzah. Masyarakat Melayu memberinya
judul Hikayat Amir Hamzah. Persebaran
hingga ke tanah Jawa melalui pintu Melayu. Di Cirebon dan Indramayu naskah ini
diberi judul Kitab Menak atau Menak Kambyah. Antara naskah Menak Kambyah dengan Serat Menak tidak ada perbedaan bahasa yang mencolok. Meskipun
naskah ini kerap digubah oleh para dalang wayang, diringkas dan disesuaikan
dengan kepentingannya, dari bentuk tembang ke prosa, akan tetapi bahasanya
sama, yaitu Jawa.
Bahwa terdapat pebedaan bahasa antara
masyarakat Indramayu dengan masyarakat Jawa, atau antara masyarakat Indramayu
dengan Cirebon, hanya pada kosa kata tertentu saja, itu pun kebanyakan bahasa
lisan. Perda Jabar No. 14/ 2014 adalah sebuah ruang ekspresi bagi golongan
tertentu dalam menunjukan identitas daerahnya.
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
Advertisement
EmoticonEmoticon