Absurditas Bahasa Indramayu

- 08.22
advertise here
advertise here
Oleh Nurhata

Menempatkan bahasa sehari-hari masyarakat Indramayu sebagai bahasa mandiri yang terpisah dari Jawa, apalagi terpisah dari Cirebon, adalah hal yang absurd. Pasalnya, belum ada kajian penelitian tentang hipotesa itu. Ajip Rosidi menegasikan pandangan itu, dalam makalahnya yang diseminarkan dalam Saresehan Basa Cerbon II. Menurutnya, jika penentuan bahasa berdasarkan daerah, betapa banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Cirebon saja, tidak dapat disebut bahasa (Bahasa Cirebon) karena persentase pembedanya hanya 25% dari bahasa Jawa Yogyakarta/ Solo, selebihnya sama dengan bahasa Jawa pada umumnya, apalagi Indramayu. Paling tidak pendapat itu melalui proses penelitian panjang dengan menggunakan metode linguistik.

Bahasa Lisan dan Bahasa Tulisan
Untuk menyederhanakan, mari kita perhatikan bahasa lisan dan bahasa tulisan yang ada di Indramayu. Bahasa lisan di daerah ini, dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa. Kalaupun kominukasi antara masyarakat Indramayu dengan masayarakat Jawa (pusat), Yogyakarta atau Surakarta, tidak begitu lancar akan tetapi kedua belah pihak bisa saling memahami. Gejala demikian sebetulnya lazim di temukan di setiap daerah, semakin jauh dari pusat kekuasaan/kebudayaan maka bahasanya pun semakin berbeda, tetapi masih dalam satu rumpun bahasa. Demikian pula dengan bahasa tutur masyarakat Cirebon dan Indramayu, pembedanya hanya pada kosa kata tertentu saja, seperti reang ‘saya’ dan nok ‘perempuan muda/kecil’. Dalam komunikasi sehari-hari, antara dua daerah tersebut tidak mengalami kendala apapun.

Sementara itu, dalam bahasa tulisan, hampir tidak ada perbedaan berarti antara sumber tertulis yang terdapat dalam catatan penduduk Indramayu dan penduduk Cirebon. Keduanya sama persis. Tidak hanya dalam masalah bahasa melainkan juga masalah tema yang diuraikan di dalamnya. Persoalan demikian dapat dilihat dalam naskah-naskah (manuscripts) koleksi masyarakat Indramayu. Naskah-naskah di daerah ini bersumber dari Cirebon, yang pada beberapa abad silam menjadi pusat skriptorium. Rupanya, masyarakat Indramayu, terutama dalang, kerap berkunjung ke Keraton Cirebon atau keluarga keraton hanya untuk menyalin naskah-naskah. Selanjutnya, naskah-naskah itu dideklamasikan melalui seni pertunjukan wayang, sandiwara, macapat, atau digunakan untuk keperluan apapun sesuai dengan kepentingan sosial. Kata reang atau nok, yang kerap disebut-sebut sebagai unsur pembeda, tidak pernah tertulis dalam naskah Indramayu. Hampir, semuanya dalam naskah Indramayu menggunakan kata isun/ kula dan bayi untuk menyebut kata ‘saya’ dan ‘perempuan muda/kecil’. Dengan kalimat lain, tidak ada bahasa Indramayu, yang ada adalah bahasa Jawa dialek Cirebon.

Naskah dan Bahasa
Naskah adalah wujud fisik yang dapat menghadirkan fenomena kebahasaan masa lalu. Tentu saja, segala genre dan bentuk kesusastraan klasik yang diuraikan di dalamnya menggunakan bahasa. Melalui bahasa, dengan menggunakan sistem aksara Jawa dan Pegon, berbagai macam informasi, ilmu pengetahuan, atau kesusastraan, tersebar di tengah masyarakat.  

Sebagai jejak  budaya, naskah kuna dapat digunakan sebagai peta untuk mengidentifikasi fenomena bahasa, juga budaya, yang ada di setiap daerah. Indramayu misalnya, yang oleh para seniman lokal dianggap memiliki bahasanya sendiri (bahasa Indramayu) dapat meniliknya dari sini. Setidaknya, dari ratusan naskah yang ditemukan di desa-desa di Indramayu, menunjukan bukti linguistik yang tak terbantahkan. Dari ratusan naskah yang berisi berbagai macam genre, bahasanya serupa dengan bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Cirebon, bahkan sama dengan naskah-naskah yang berasal dari Jawa. Artinya, bahasa kesusastraan (tertulis) antara masyarakat Jawa (secara umum), Cirebon, dan Indramayu, adalah sama.

Bagaimana proses persebaran bahasa itu, yaitu melalui tradisi penyalinan naskah-naskah. Sebagai contoh, Serat Menak, suatu naskah yang berkisah epos Amir Hamzah. Cerita ini bersumber dari Persia, judul aslinya Oissa’i Emir Hamzah. Masyarakat Melayu memberinya judul Hikayat Amir Hamzah. Persebaran hingga ke tanah Jawa melalui pintu Melayu. Di Cirebon dan Indramayu naskah ini diberi judul Kitab Menak atau Menak Kambyah. Antara naskah Menak Kambyah dengan Serat Menak tidak ada perbedaan bahasa yang mencolok. Meskipun naskah ini kerap digubah oleh para dalang wayang, diringkas dan disesuaikan dengan kepentingannya, dari bentuk tembang ke prosa, akan tetapi bahasanya sama, yaitu Jawa.

Bahwa terdapat pebedaan bahasa antara masyarakat Indramayu dengan masyarakat Jawa, atau antara masyarakat Indramayu dengan Cirebon, hanya pada kosa kata tertentu saja, itu pun kebanyakan bahasa lisan. Perda Jabar No. 14/ 2014 adalah sebuah ruang ekspresi bagi golongan tertentu dalam menunjukan identitas daerahnya.


*Terbit pada tanggal 19 Maret 2015 di surat kabar harian Kabar Cirebon
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search