Cariyos Walangsungsang:
Pangan Sebagai Modal bagi Otonomi Cirebon[1]
Nurhata[2]
muhammadnurhata@gmail.com
Abstrak
Naskah Cariyos Walangsungsang berisi cerita Raden Walangsungsang beserta adiknya,
Rarasantang, dalam mencari agama Islam. Walangsungsang adalah pendiri kampung
Kebon Pesisir (sekarang Cirebon). Ia berprofesi sebagai nelayan dan petani. Berbagai
macam hasil bumi yang pernah diproduksi pada masa tersebut tengah menjadikan
Cirebon berkembang hingga menjadi daerah otonom. Bahkan, kekayaan alam itu
membuat Cirebon sebagai salah satu pusat ekonomi di Nusantara. Namun, berbagai
jenis pangan yang dahulu pernah ada kini semakin berkurang seiring dengan
perkembangan zaman. Penelitian ini akan menguraikan hasil bumi atau jenis-jenis
makanan Cirebon serta perannya dalam membentuk kemandirian suatu wilayah.
Kata kunci: Walangsungsang, Cirebon, pangan
A. Pendahuluan
Kata
criyos, carios atau cariyos dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) (Widada,dkk., 2001) adalah bahasa
Jawa Krama yang berarti cerita, sedangkan Walangsungsang
adalah nama tokoh utama dalam cerita tersebut. Dengan demikian, Cariyos Walangsungsang adalah
naskah (manuscript) yang berisi
cerita perjalanan hidup Walangsungsang di pesisir utara Jawa (Cirebon), yakni
dalam mencari agama Islam. Cerita ini kemudian menjadi kisah asal-usul Cirebon.
Isi yang terdapat dalam naskah Cariyos
Walangsungsang
memiliki kemiripan dengan naskah Babad
Cirebon, Purwaka Caruban Nagari (Atja, 1796), dan Wawacan Sunan Gunung Jati (Emon dan Sudjana, 1994).
Tulisan
ini merujuk pada naskah Cariyos Walangsungsang asal Cirebon. Ada dua
teks (A dan B) dalam naskah tersebut, dan yang digunakan sebagai data adalah
teks A, dengan pertimbangan utuh dan lengkap, serta isi teks belum diteliti, hanya
baru disunting (transliterasi dan terjemahan) oleh N. Hata (2013). Di samping
tentang asal usul dan agama Islam di Cirebon, teks A juga menjelaskan tentang
pangan, baik yang didapat dari laut maupun darat. Beberapa jenis pangan adalah pokok
pembahasan dalam tulisan ini.
Kedua
teks yang tergabung dalam satu naskah tersebut tidak melulu bercerita tentang
Walangsungsang, melainkan juga tentang tokoh-tokoh lainnya, termasuk cerita
asal-usul desa. Pada bagian
berikutnya, tokoh Syarif Hidayat, keponakan
Walangsungsang, diceritakan lebih dominan. Perbedaan mendasar dari kedua teks
tersebut yaitu pada alur dan penokohan
yang berlainan,[3]
terdapat pembatas cerita (Carub Kanda)[4],
dan adanya bentuk tembang
(sinom, pangkur, asmarandana, dll).
Tiga hal tersebut hanya terdapat dalam naskah B, tidak ada dalam teks A.
Pada
mulanya, makalah ini akan menggunakan tiga naskah asal Cirebon sebagai sumber
utama: Cariyos Walangsungsang, Babad Cirebon, dan Negara Kertabhumi, tidak
seperti yang dijelaskan di atas. Namun, setelah
diidentifikasi, yang menguraikan beberapa jenis makanan lebih banyak terdapat dalam
naskah yang pertama. Pada naskah kedua hanya menyinggung satu jenis makanan, beegitu pula dengan
naskah yang ketiga lebih banyak
menjelaskan tentang silsilah kekuasaan kerajaan di wilayah Jawa Barat dari
Tarumanagara hingga
ke Cirebon serta pembagian kekuasaan keraton Cirebon. Demikian alasan penentuan
pada satu naskah Cariyos Walangsungsang. Kendati demikian,
tidak melulu mengambil satu naskah tersebut, melainkan memanfaatkan naskah-naskah
lain serta sumber terbaru untuk mengafirmasi sumber utama.
Secara
etimologi, terminologi Cirebon berhubungan dengan pangan. Kata ini berasal dari
dua kata, ci/cai dan rebon. Di dalam bahasa Sunda, cai berarti air, dalam konteks ini
adalah air sisa pembuatan terasi (blendrang),
sedangkan rebon adalah udang kecil
sebagai bahan dasar pembuatan terasi. Perihal demikian, akar sejarahnya sudah
ada sejak abad 15, bahkan sampai abad 20 Cirebon masih diakui sebagai penghasil
udang dan terasi berkualitas, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal tapi
juga nasional. Tidak berlebihan jika Cirebon mengaitkan identitas budayanya
pada pangan, yang kini dikenal dengan kota udang. Perihal demikian juga berlaku
bagi daerah-daerah lain, seperti: Brebes kota bawang, Indramayu kota mangga,
subang kota nanas, Karawang kota padi, Depok kota belimbing, dst.
Nama
lain dari Cirebon adalah Grage,
berasal dari kata glagi yang berarti udang
kecil sebagai bahan dasar pembuatan
terasi. Kata glagi juga berhubungan
dengan pangan. Menurut penduduk setempat, kata Grage
merupakan kependekan dari Nagari Gede, yang lama
kelamaan dilafalkan Garage atau Grage. Ada pula yang menyatakan bahwa kata
Cirebon berasal dari Sarumban atau Caruban yang berarti campuran, karena dahulu
wilayah ini sudah dihuni oleh masyarakat multikultural, terdiri atas golongan, suku, bangsa, agama, aksara, bahasa, dan pekerjaan
yang berlainan. Demikian yang jelaskan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya
Carbon pada tahun 1720 Masehi (Atja, 1972:1).
Caruban adalah nama pemukiman yang
terletak di pedalaman, bagian barat dari pantai, atau disebut dengan Cirebon
Girang. Di sebelah utara terdapat daerah Surantaka dan Singapura, sedangkan Jayapura
di sebelah timur. Di wilayah ini, terdapat pemukiman nelayan, pelabuhan kapal,
dan pusat transaksi (Pasar Pasambangan). Daerah-daerah tersebut sudah ada sejak
abad 13, kedudukannya dibawah kekuasaan Raja Galuh, yang menjadi pengurus
pelabuhan (Muara Jati) adalah Ki Gedeng Alang-Alang. Pada masa itu, banyak sekali
kapal yang berkunjung karena letaknya strategis dan sangat ramai. Baru paruh
pertama abad 14 kemudian, agama Islam masuk ke tanah Jawa Barat dibawa oleh dua
ulama besar, Syekh Quro dan Syekh Nurjati, yang menarik perhatian
Walangsungsang dan Rarasantang (Sobana dan Tawaludin, 2011:23). Adanya pelabuhan
kapal dan pasar sebagai pusat distribusi hasil bumi ke masyarakat mengandaikan
bahwa wilayah ini sudah memiliki satu sistem ekonomi atau tata niaga yang cukup
baik.
Selain
masyarakat nelayan, Cirebon juga memiliki masyarakat petani yang tak kalah pentingnya
dalam membangun kemandirian suatu daerah. Menurut cerita, Walangsungsang adalah
orang yang mengajarkan bercocok tanam atau menanam tumbuhan sayur-sayuran kepada
para pendatang. Salah seorang tokoh perempuan yang gemar bercocok tanam, yang
cukup popular dalam tradisi lisan adalah Nyi Mas Gandasari atau Nyi Mas
Panguragan. Masa itu, tradisi makan tumpeng dengan lauk panggang ayam sudah
membumi, tidak hanya saat ada perjamuan besar tapi juga individual.
Kebiasaan
ini berlanjut hingga beberapa abad ke depan, seperti saat Sultan Agung melakukan
penyerangan atas Jayakarta, Sultan Cirebon menyambutnya dengan aneka ragam
makanan. Jumlah kapal Mataram yang singgah
di pelabuhan Cirebon tak terhitung
banyaknya. Oleh Raja Cirebon, mereka dijamu dengan makanan dan minuman
yang serba enak. Mereka semua adalah tentara Mataram yang berasal dari sejumlah
daerah: Madura, Pamekasan, Sumenep, Balega, Sampang, Arisbaya, Surabaya,
Brebes, Telegil, Gombong, Nambeng, Wiradesaki, Batang, Kendal, Kaliwungu,
Gresik, Lamongan, Tuban, Lasem, Sedayu, Demak, Kudus, Japara, Juwana,
Pekalongan, Rembang, Bagelen dan Sumedang (Ayatrohaedi, 2005).
Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa Cirebon memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pokok
permasalahannya adalah, seberapa penting kedudukan hasil bumi bagi pembangunan
kemandirian daerah Cirebon.
B.
Deskripsi Naskah
Jumlah
naskah Walangsungsang ada empat, dua naskah berjudul Cariyos Walangsungsang, satu naskah Raden Walangsungsang, dan satu naskah lagi berjudul Walangsungsang (menurut pemiliknya).
Dari keempat naskah tersebut, yang tidak memiliki judul adalah naskah terakhir.
Semua naskah itu dikategorikan sebagai sastra sejarah karena di dalamnya memuat
informasi kesejarahan. Adapun naskah-naskah tersebut akan diuraikan dibawah ini:
Pertama,
naskah Cariyos Walangsungsang
(A),
koleksi Rafan Safari Hasyim. Berdasarkan manggala, naskah disalin pada tanggal
16 April 1946 M; Inilah Cariyos Pangeran
Walangsungsang, 16/4/46. Tidak disebutkan nama penyalinnya, anonim, hanya
terdapat catatan waktu lahir dua orang anak; Nyai Raden Hayriyah lahir pada malam Sabtu Pon, tanggal 8, bulan
Jumadil Akhir, tahun Jim Awal 1365, 11/5/1946 Masehi, dan Raden Ahmad Sayyidi (lahir) pada waktu
matahari Jumat Keliwon, tanggal 28, bulan Rajab, tahun Be 1368, 28/5/49. Menurut
pemiliknya, naskah disalin oleh Pangeran Rohadi Wijaya Jayakelana (pemilik
pertama) kemudian diwariskan ke Raden Syarif Rohani Kusumawijaya, diwariskan
lagi kepada Raden Syarif Zaenal Asyiqin Tirtawijaya, dan akhirnya diterima oleh
pemiliknya yang sekarang.
Jumlah keseluruhan halaman 130, terdiri atas 18 baris. Untuk jumlah halaman teks pertama (A) 59 halaman. Teks
menggunakan bahasa Jawa, aksara Pegon, dengan tinta warna biru dan hitam. Ukuran naskah
34x21cm, dan ukuran blok teks 31x15cm. Alas naskah menggunakan kertas bergaris,
sudah dijilid dengan kertas karton, dan penjilidan masih baru.
Kedua,
naskah Cariyos Walangsungsang
(B).
Naskah ini memiliki banyak kesamaan dengan naskah pertama, karena masih satu
naskah dengan teks yang pertama.
Kesamaan itu terletak pada jumlah baris tiap halaman, bahasa, aksara, alas
naskah, sampul, penjilidan dan fisik naskah. Bedanya, jumlah halaman pada
naskah ini 71, disalin pada tahun 1947, serta isi teksnya berlainan (versi).
Ketiga,
naskah Raden Walangsungsang. Naskah
tersebut masih satu varian dengan naskah versi A. Judul tersebut ditulis oleh
pemiliknya, Tarka. S. Ukuran naskah 20.7x16 cm, dan ukuran blok teks 17.5x16
cm. Jumlah halaman 44, tiap halaman terdiri atas 12-15 baris. Jarak tiap baris
(liniearing) 1 cm. Alas naskah
menggunakan kertas bergaris, naskah dijahit dengan benang. Tinta berwarna hitam
dan abu-abu, menggunakan pulpen dan pensil. Bahasa yang digunakan adalah Jawa
dengan aksara Jawa/Carakan. Halaman depan dan belakang tidak ada, tidak lengkap.
Kondisi naskah rusak, jilidan lepas, dan sudah lapuk. Meskipun alas naskah
banyak yang rusak namun secara keseluruhan teks masih terbaca. Naskah ini diambil
dari makam keramat Ketepeng Reges, Indramayu. Menurut pemiliknya naskah ini
digunakan bagi seni pertunjukan Wayang
Golek Cepak. Halaman awal: “…putranne
Darugem lajeng huluk salam, Seh Darugem ngucap hing mannah ngisenni Pandita
Jawa kurang ngadab…”. Halaman kedua: “Kocappa
Walangsungsang prapta niki sek ngora sejataken hilmu hagami nuli dituduh…”
Keempat,
naskah Walangsungsang koleksi Bapak
Ahmadi. Naskah ini memiliki ukuran 21x16cm, dan ukuran blok teks 18x13cm.
Jumlah halaman 210, tiap halaman terdiri atas 12 baris. Naskah tidak memiliki
judul. Bahasa yang digunakan adalah Jawa, aksara Jawa/Carakan, ditulis dengan
tinta warna hitam. Alas naskah dengan kertas Eropa. Naskah ini tidak lengakap,
halaman awal dan akhir tidak ada. Terdapat rubrikasi warna merah, serta
penomoran halaman dengan aksara latin menggunakan pensil. Kondisi fisik sudah
lapuk, rusak, dan robek, terutama pada beberapa halaman awal. Sampul tidak ada,
hanya dijahit dengan benang, namun jahitan lepas. Naskah ini masih satu varian
dengan naskah pertama dan ketiga: Carita
kang kinawai Walangsungsang.
C.
Ringkasan
Cerita
Suatu
hari, Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran) dan Nyi Sari ditinggal pergi oleh kedua
anaknya, Walangsungsang dan Rarasantang, untuk belajar ilmu agama kepada
Kanjeng Nabi Muhammad. Padahal, Raden Walangsungsang adalah pewaris tahta sang
ayah, sementara adiknya, Dewi Rarasantang akan dipersiapkan menjadi bupati.
Walangsungsang kabur lebih dulu lewat pintu belakang. Setelah sekian lama baru
kemudian disusul adiknya. Mereka berlari seperti ayam alas atau kadal, melewati
hutan lebat dan pegunungan, tidak makan tidak tidur, sampai akhirnya bertemu
dengan Sang Hyang Danuwarsih.
Suatu
hari Walangsungsang berburu burung bangau dengan menggunakan anyaman bambu
sebagai perangkap (wadong), di
dalamnya diberi umpan ikan. Saat burung bangau masuk ke dalam jebakkan yang ia
letakkan di atas pohon, segera ia menangkapnya. Burung itu akan dijadikan
petis. Namun, tiba-tiba burung tersebut berbicara, supaya tidak dimasaknya.
Oleh burung tersebut, Walangsungsang diajak ke Gunung Cangak, dan tiba-tiba
burung itu berubah menjadi raja. Lalu, Walangsungsang diberi jimat piring panjang, bareng, dan pendil baja, sebagai ungkapan terimakasih karena tidak membunuh
dan tidak memasaknya menjadi petis.
Walangsungsang
bertemu dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati, orang yang pernah berjumpa dalam
mimpinya. Ia diajarkan
ilmu agama Islam. Tak
lama kemudian Rarasantang menyusul ke tempat Syekh Nurjati, dan bertemu dengan
kakaknya. Mereka berdua berpeluk tangis. Setelah itu, Walangsungsang mendirikan desa
Kebon Pesisir, pesantren dan Masjid Panjunan atas perintah gurunya, luasnya
hingga 1000 hasta. Di Kebon Pesisir, Walangsungsang bekerja sebagai penjaring
ikan dan udang di laut
untuk dijadikan sebagai terasi, dengan menggunakan perahu kecil. Ia menumbuk hasil
tangkapannya serta menjemurnya di Gunung
Cangak dan di Girang.
Walangsungsang
menikah dengan Nyi Indang Gelis dan memiliki anak bernama Pakungwati.
Sementara, Rarasantang, dari perkawinannya dengan Raja Utara, melahirkan Syekh
Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Saat Syarif Hidayatullah dewasa, ia
berkelana ke sejumlah negara demi ingin berguru kepada Nabi Muhammad. Hasrat
ingin bertemu dengan Nabi Muhammad mulai
timbul setelah ia mempelajari kitab-kitab milik ayahnya. Ketika dalam perjalanan ia
diberi roti oleh seorang wanita,
khasiatnya dapat berbicara 1000 bahasa.
Akhirnya, Syekh Syarif
bertemu dengan Nabi Muhammad.
Putra Rarasantang itu
diperintahkan Nabi Muhammad untuk
mempelajari al-Quran dan hadis, serta ikut bergabung ke dalam tarekat
Syattariyah. Pertemuannya dengan Nabi Muhammad setelah ia memakan buah kamuksan
pemberian dari raja jin, Abdul Syekh Abdu as-Sofari. Selain buah kamuksa, Syekh
Syarif juga diberi hidangan berbagai macam makanan.
Syekh
Syarif berjalan menuju Pajarakan.
Disana ia bertemu dengan orang yang sedang menanam jagung sembari tafakur
hingga menyatu dengan Allah. Oleh karenanya, orang itu diberi nama Syekh
Majagung. Syekh Majagung juga bekerja sebagai penyadap aren. Saat ia mengambil atau menyadap aren
airnya mengalir dares (deras),
sehingga ia juga dijuluki Ki Dares. Ia menampung air aren dengan menggunakan
bambu untuk dibagikan ke orang-orang. Syekh
Syarif menyampaikan kepada Syekh Majagung, bahwa khasiat
dua kalimat syahadat dapat mengubah buah jambe menjadi emas. Kalimat tersebut
juga diajarkan kepada Pangeran Karang Kendal, Pangeran Makhdum, Pangeran
Kajoran, Ki Patih Keling,
Raja Palembang, Aceh, Bustam, Turki, Rum dan Syam.
Syahdan,
di ceritakan Raden Sayid Durahman berjalan mendampingi Raja Urawan berburu
kijang. Raden Sayid adalah abdi dalem Raja Urawan. Suatu hari senjata
Tombak Talempeknya tertinggal, Sayid
Durahman diperintahkan mengambilnya di istana.
Sampai di istana, ia melihat permaisuri sedang berselingkuh dengan Ki Mas
Taruna, seorang abdi dalem Raj Urawan juga.
Seketika ia teringat akan nasehat kakek tua: rahasia tidak boleh dibuka, rezeki
jangan ditolak, dan istri cantik tidak boleh disetubuhi. Putra Tuban tidak
melapor kepada raja, tapi permaisuri justru memfitnahnya. Kemudian, sang raja
menulis surat kepada Judipati, berisi perintah pemenggalan leher bagi siapa saja yang membawa
surat tersebut. Surat itu diberikan kepada Durahman. Sampai di pasar, ia
melihat orang bersedekah tumpeng ayam panggang terjejer rapih dipinggir jalan,
ia pun tidak menolaknya. Saat sedang lengah,
Ki Mas Taruna mengambil surat dari belakang, lalu dibawanya, dan diberikan kepada
Ki Judipati. Saat dibaca, leher Ki Mas Taruna langsung dipenggalnya. Sayid
Durahman lalu diperintahkan pergi ke Negara Nawungan, rajanya bernama Nyi Rara
Ratu, parasnya sangat cantik jelita. Setelah bertemu, Sayid Durahman diajak
menikah. Usai menikah mereka tidak langsung bersetubuh. Tak lama kemudian,
keluar kelabang putih dari kelamin istrinya, lalu dibantingnya, dan seketika berubah menjadi Keris
Kalamunyeng. Setelah kejadian itu, Sang Ratu terjun ke laut selatan (kidul), sehingga ia dikenal dengan Ratu Kidul.
Sayid
Durahman kemudian menjadi penjegal di Hutan Japura atas perintah Syekh
Kamarullah, dan berganti nama menjadi Lokajaya. Di hutan tersebut, Lokajaya merampok siapa saja,
orang Jawa, Cina, Madura, saudagar kaya, atau pejabat Majapahit, termasuk warga
biasa. Suatu hari, dua orang suami-istri, Ki Dares dan Nyi Mukena dijegal oleh
Lokajaya saat mereka
berdua sedang memikul nasi tumpeng, beras tumbuk anyar, dan ayam panggang. Nyi Mukenah diserang
dan direbut barang bawaannya oleh Lokajaya hingga tersungkur ke rumput sehingga ia menangis, dan memohon
maaf kepada Tuhan, karena telah menyakiti rumput. Lokajaya menusukkan tombaknya
ke tubuh Nyi Mukena, namun tak mempan, ia kebal senjata tajam. Lokajaya
langsung sujud dan bertobat. Untuk menghapus semua dosa-dosanya, Lokajaya
dikubur selama satu tahun, baru kemudian ia diperintahkan berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati.
Syahdan,
Syekh Syarif mengunjungi Syekh Bentong yang sedang makan nasi tumpeng usai bertapa.
Syekh Syarif datang dari belakang dan menyampaikan salam, namun tidak
dihiraukannya. Tamu itu memetik tiga lembar daun api-api, begitu dilempar
berubah menjadi bebek, dan memakan tumpeng milik Syekh Bentong. Sykeh Bentong
membantingnya, hingga mati. Syekh Syarif meminta menghidupkannya kembali. Oleh
karena Syekh Bentong tidak bisa, maka ia diperintahkan untuk berguru lagi.
Di
Dalem Agung, Pangeran Lokajaya atau Syarif Durahman sedang mananti kehadiran
Syekh Syarif sembari badannya membungkuk hormat selama 99 bulan, oleh karenanya
tempat itu dinamakan Kuta Wungkuk. Lokajaya
diperintahkan pergi ke
Kali Cimanuk untuk berzikir dengan membawa 100 buah kemiri. Namun, buah kemiri
itu terjatuh ke sungai. Saat diambil ia terbawa arus banjir bandang dan menyeretnya hingga ke
Pulau Hening. Di sana ia bertemu dengan Nabi Hidir dan diberi pusaka pisau, kempek dan endong, serta
dua nama: Pangeran Adilangu dan Sunan Kalijaga. Pusaka-pusaka tersebut adalah
alat untuk membuat wayang yang digunakan sebagai media dakwah agama Islam.
D. Kedudukan Pangan di
Cirebon
Keberadaan
tentang hasil bumi yang dimiliki penduduk Nusantara tidak hanya Cirebon, tapi
juga wilayah lain. Kepulauan Maluku, Ternate dan Tidore adalah tiga wilayah
penting yang sering disebut pada masa era pendudukan bangsa asing atas
Nusantara, karena wilayah-wilayah tersebut sangat kaya akan rempah-rempah.
Bahkan, kerajaan kolonial Portugis, Inggris dan Belanda dibangun atas dasar
kepentingan kayu manis, cengkeh, lada, pala dan bung pala. Tidak berlebihan jika
pada tanggal 7 Juli 1503, Christopher Columbus, dalam suratnya yang ditulis di
Jamaika menegaskan bahwa Hindia adalah wilayah terkaya di dunia. Menurutnya, di
negeri ini banyak sekali emas, mutiara, batu berharga, dan sejumlah
rempah-rempah, sebagai barang dagangan yang beredar di pasar (Jack Turner,
2011:xvi&3).
Di
Jawa, sejak abad 14, beras sudah diperebutkan oleh banyak bangsa Eropa, karena
nilai jualnya yang sangat tinggi. Nilai beras seperti halnya cengkeh dan pala
dari Maluku, atau lada dari Sumatra dan Banten. Pada waktu yang bersamaan,
Cirebon sudah dikenal memiliki kekayaan yang relatif banyak, bukan hanya beras,
tapi juga jagung, ikan, daging binatang ternak, dll. Namun, pertumbuhan wilayah
Cirebon (termasuk Demak dan Banten) baru mulai tampak pada abad 15-17, yaitu
saat perkembangan perdagangan di Asia Tenggara meningkat signifikan (Djuliati
Suroyo, 2003:89-90). Bahkan, hingga
abad 19, perkembangan ekonomi Cirebon terus mengalami kemajuan, sebagaimana
disebutkan dalam naskah Catatan Saking
Dusun Junti. Komoditi yang cukup menjanjikan pada masa itu adalah binatang
ternak, seperti kerbau, kambing, dan sapi. Adapun jenis-jenis kebutuhan pokok lain
yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan domestik adalah garam, jagung, terasi,
ikan, rusa, beras, dan ayam.
Walangsungsang
mendirikan Kebon Pesisir di perkirakan jatuh pada tanggal 8 April 1445 Masehi (Sobana
dan Tawaludin, 2011:23). Meskipun Walangsungsang bukan orang pertama yang
menduduki Cirebon, akan tetapi kehadirannya patut dipertimbangkan. Amparan Jati
adalah nama dukuh sebelum Walangsungsang mendirikan Kebon Pesisir. Di sebut
Kebon Pesisir karena mata pencaharian penduduknya sebagai tukang kebun atau
petani dan nelayan, tempat tinggal
mereka di pesisir. Para petani menghasilkan beras atau
padi dan jagung, sedangkan nelayan menghasilkan ikan dan udang atau sejenisnya.
Disadari
atau tidak, beberapa hasil bumi tersebut merupakan suatu faktor yang
memungkinkan Cirebon menjadi wilayah mandiri yang pada akhirnya mengundang
perhatian para pedagang asing yang
berbuntut pada penjajahan. Diakuinya Cirebon sebagai salah satu
wilayah penghasil makanan pokok terus berlanjut hingga beberapa abad ke depan. Tidak heran jika VOC
meminta pelabuhan Cirebon yang kedudukannya sangat penting, setelah berkoalisi dengan Pangeran
Puger dalam rangka merebut
dan menggantikan posisi Amangkurat I.
Sebagai
hasilnya, ia mendapatkan gelar Pakubuwono II pada
tahun 1705 (Leirissa, 2003:71).
D.
Jenis-Jenis
Pangan dan Mata Pencaharian
Di
dalam naskah Cariyos Walangsungsang disebutkan tentang jenis-jenis
pangan di daerah Cirebon. Berbagai jenis pangan itu sebagian banyak berupa
kebutuhan primer, yang dapat di kelompokkan menjadi dua: makanan jadi (nasi,
petis, panggang ayam, nasi tumpeng, dan air aren) dan bahan mentah (daging
ayam, ikan air tawar, ikan laut, daging burung bangau, daging kijang, daging
bebek, jagung, buah kemiri, dan beras anyar).
Baik
makanan siap saji maupun bahan mentah menandakan bahwa dahulu masyarakat
Cirebon pernah ada tradisi makan dengan menu dan bahan dasar seperti itu. Dari
sini dapat ditarik sebuah simpulan akan mata pencaharian penduduk setempat,
yakni sebagai nelayan, petani dan peternak. Di samping itu, ada pula mereka yang
berprofesi sebagai pemburu.
Ketika
Syekh Syarif datang ke Cirebon pada tahun 1470, perekonomian di wilayah ini
sudah cukup mapan, karena ada sejumlah tokoh pendahulu yang berhasil
menciptakan sistem mata pencaharian. Tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai
petani dan nelayan adalah Walangsungsang, sementara Nyi Mas Gandasari, Ki Gede
Babadan, Syekh Majagung, dan Nyi Endang Darma Ayu hanya sebagai petani. Ki Gede
Babadan bukan hanya petani, melainkan pemilik ladang jagung yang membentang
luas. Begitu pula dengan Endang Darma Ayu, bukan hanya sebagai petani biasa, ia
adalah pembawa bibit (padi, jagung, kacang, pepaya, sayur-sayuran, dll.) dari Palembang, bahkan ia mengajarkan tata cara berocok tanam
kepada penduduk Cimanuk (sekarang Indramayu).
Kala itu dukuh Cimanuk masuk ke
dalam wilayah Cirebon (Dasuki,
dkk., 1976:69-70).
Muara
Jati adalah suatu pelabuhan penting yang dikepalai oleh Ki Gedeng Tapa,
sementara yang menjadi mangkubumi adalah Jumajan Jati. Beberapa jenis pangan
yang pernah diangkut ke Majapahit dengan menggunakan perahu hingga penuh adalah
garam, terasi, beras tumbuk, dan rempah-rempah (grabadan), termasuk kayu jati. Jenis-jenis kebutuhan pokok tersebut
diterima sebagai upah proyek pembangunan mercusuar selama tujuh hari tujuh
malam yang dikerjakan oleh orang-orang dari Majapahit. Pembangunan itu terletak
di pelabuhan Cirebon atas perintah juru labuhan (Atja, 1972).
Jenis-jenis
hasil bumi yang pernah dipr
oduksi
pada masa itu terus berlanjut, khususnya di sepanjang abad 17, hingga berhasil memenuhi
permintaan pasar nasional, tentunya setelah kebutuhan domestik sudah terpenuhi.
Hasil bumi itu diambil dari sejumlah titik perkampungan lalu angkutnya ke
Batavia untuk di ekspor ke negara lain.
Adapun jenis pangan yang dibawa ke luar wilayah adalah:
beras, kacang, daging rusa, ayam, bawang, sayur, pisang kering, lada, gula
hitam, gula puth, asam, kelapa tua, garam, sapi, telur asin, tebu, manggis,
duren, ikan asin, daging kerbau, dll.
(Dasuki, dkk., 1976:177-192).
F. Pangan Sebagai Modal
Otonomi Cirebon
Pada
umumnya, pandangan atas otonomi Cirebon tersentral pada figur Syekh Syarif
Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, selaku putra Raja
Mesir dan cucu raja Pajajaran. Sebagai konsekuensinya, akan berujuang pada satu
kesimpulan bahwa kemandirian Cirebon disebabkan oleh faktor politik dan agama,
dengan dibantu para wali. Namun, jika dilihat dari kekayaan alam yang ada,
kemandirian wilayah Cirebon di bawah Pajajaran, disebabkamn oleh faktor ekonomi.
Dengan berprofesi sebagai nelayan dan petani, penduduk Cirebon berhasil
membangun wilayahnya sendiri, oleh karenanya posisi perkampungan itu
diperhitungkan sejak masa Pajajaran hingga era kolonialisasi bangsa Eropa.
Kemapanan
perekonomian Cirebon sudah terlihat sebelum kehadiran Walangsungsang. Namun,
perannya dalam membangun Kebon Pesisir, yang kelak menjadi Cirebon, patut
dipertimbangkan, karena ia adalah santri daripada Syekh Nurjati, ulama besar
yang memerintahkan mendirikan Kebon Pesisir. Ulama tersebut adalah tokoh
sentral dalam penyebaran agama Islam di Cirebon. Di samping itu, karena
Walangsungsang merupakan putra Baginda Raja Prabu Siliwangi, raja Pajajaran,
yang kekuasaannya terbentang hingga ke Cirebon, termasuk wilayah yang diduduki
oleh gurunya. Tidak heran jika dalam waktu singkat Kebon Pesisir sudah dipadati
penduduk dengan profesi sebagai peladang atau tukang kebun serta nelayan. Oleh
karena itu kehadirannya di Amparan Jati merupakan tonggak penting dalam sejarah
perkembangan Cirebon hingga menjadi
daerah otonom.
Dari
sekian banyak jenis makanan, terasi adalah salah satu jenis pangan yang paling
digemari, baik oleh penduduk pesisir maupun oleh orang-orang dari daerah
pegunungan, yaitu
sejak masa Walangsungsnag. Makanan tersebut merupakan hasil kreatifitas para
nelayan dengan peralatan sederhana, suatu profesi yang banyak dimiliki
masyarakat Cirebon (Atja, 1972:52). Tidak heran jika Galuh, selaku atasan, mengeluarkan
suatu kebijkan bagi Kebon Pesisir untuk membayar pajak berupa terasi (juga
garam) dalam jangka waktu cukup lama. Namun,
sejak pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah, keponakan
Walangsungsang, Raja Cirebon
ini
menghentikan pembayaran pajak. Tidak lagi mengirim terasi ke Galuh. Karena,
ia menyadari bahwa kekayaan alam yang ada di wilayah tersebut tidak hanya
terasi dan garam, tapi juga berbagai kebutuhan pokok lainnya, yang mampu
menciptakan sautu wilayah otonom. Di samping itu, kehadiran sejumlah saudagar
di wilayah yang didirikan oleh Walangsungsang tersebut, juga turut berperan
serta dalam meningkatkan nilai suatu hasil bumi. Walla>hu a’lam bis}s}awa>b.
Daftar Pustaka
Atja,
1972. Carita Purwaka Caruban Nagari (Sejarah
Mula Jadi Cirebon). Ikatan Karyawan Museum.
Ayatrohaedi,
2005. Sundakala: Cupilkan Sejarah Sunda Berdasarkan
Naskah-naskah Wangsakerta “Panitia Wangsakerta” Cirebon.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Dasuki,
dkk., 1976. Sejarah Indramayu.
Indramayu: Pemda Indramayu.
Hardjasaputra,
A. Sobana dan Haris, Tawalinuddin, ed., 2011.
Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15
hingga Pertengahan Abad ke-20). Jawa Barat: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Hata,
N., 2013. Cariyos Walangsungsang. Laporan Penelitian. Cirebon.
Leirissa,
R. Z., 20013. “Perdagangan dan Kekerasan pada
Masa VOC”, dalam Forum Dialog
Indonesia-Belanda, VOC: Dua Sisi dari Perusahaan Multinasional Dunia yang
Pertama. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Suroyo,
A.M Djuliati., 20013. “VOC dan Eksploitasi Kolonial di
Jawa: Monopoli, Tanam Paksa, dan Beli Paksa”, dalam Forum Dialog Indonesia-Belanda, VOC: Dua Sisi dari Perusahaan
Multinasional Dunia yang Pertama. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Suryaatmana
Emon dan Sudjana T.D., 1994. Wawacan Sunan Gunung Jati. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Turner,
Jack, 2011. Sejarah Rempah, dari Erotisme sampai Imperialisme. Penerjemah Julia
Absari. Depok: Komunitas Bambu.
Widada,
dkk., 2001. Kamus Basa Jawa (Bausastra
Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Sumber Naskah:
Babad Cerbon, koleksi
Tarka. S
Cariyos Walangsungsang (A),
koleksi Rafan Safari Hasyim
Cariyos Walangsungsang (B),
koleksi Rafan Safari Hasyim
Catatan Saking Dusun Junti,
koleksi Perpustakaan Nasional RI
Raden Walangsungsang,
koleksi Tarka. S
Walangsungsang,
koleksi Ahmadi
[1] Di seminarkan di Perpustakaan
Nasional RI, Seminar Naskah Kuna Nusantara, “Pangan dalam Naskah Kuna Nusnatra”,
Rabu, 18 September 2013.
[3] Kedua teks ini saya sebut dua versi yang berlainan karena memiliki
banyak perbedaan, antara lain: teks A bercerita kepergian Walangsungsang
mencari agama Islam tidak direstui oleh ayahnya sedangakan teks B orang tuanya
memberikan restu izin.
[4] Carub Kanda berarti campuran atau kumpulan berbagai cerita
(Widada,dkk., 2001:95&336).
Advertisement
EmoticonEmoticon