Cariyos Walangsungsang: Pangan Sebagai Modal bagi Otonomi Cirebon

- 09.11
advertise here
advertise here


Cariyos Walangsungsang: Pangan Sebagai Modal bagi Otonomi Cirebon[1]
Nurhata[2]
muhammadnurhata@gmail.com
Abstrak
Naskah Cariyos Walangsungsang berisi cerita Raden Walangsungsang beserta adiknya, Rarasantang, dalam mencari agama Islam. Walangsungsang adalah pendiri kampung Kebon Pesisir (sekarang Cirebon). Ia berprofesi sebagai nelayan dan petani. Berbagai macam hasil bumi yang pernah diproduksi pada masa tersebut tengah menjadikan Cirebon berkembang hingga menjadi daerah otonom. Bahkan, kekayaan alam itu membuat Cirebon sebagai salah satu pusat ekonomi di Nusantara. Namun, berbagai jenis pangan yang dahulu pernah ada kini semakin berkurang seiring dengan perkembangan zaman. Penelitian ini akan menguraikan hasil bumi atau jenis-jenis makanan Cirebon serta perannya dalam membentuk kemandirian suatu wilayah.
Kata kunci: Walangsungsang, Cirebon, pangan

A. Pendahuluan
Kata criyos, carios atau cariyos dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) (Widada,dkk., 2001) adalah bahasa Jawa Krama yang berarti cerita, sedangkan Walangsungsang adalah nama tokoh utama dalam cerita tersebut. Dengan demikian, Cariyos Walangsungsang adalah naskah (manuscript) yang berisi cerita perjalanan hidup Walangsungsang di pesisir utara Jawa (Cirebon), yakni dalam mencari agama Islam. Cerita ini kemudian menjadi kisah asal-usul Cirebon. Isi yang terdapat dalam naskah Cariyos Walangsungsang memiliki kemiripan dengan naskah Babad Cirebon, Purwaka Caruban Nagari (Atja, 1796), dan Wawacan Sunan Gunung Jati (Emon dan Sudjana, 1994).
Tulisan ini merujuk pada naskah Cariyos Walangsungsang asal Cirebon. Ada dua teks (A dan B) dalam naskah tersebut, dan yang digunakan sebagai data adalah teks A, dengan pertimbangan utuh dan lengkap, serta isi teks belum diteliti, hanya baru disunting (transliterasi dan terjemahan) oleh N. Hata (2013). Di samping tentang asal usul dan agama Islam di Cirebon, teks A juga menjelaskan tentang pangan, baik yang didapat dari laut maupun darat. Beberapa jenis pangan adalah pokok pembahasan dalam tulisan ini.  
Kedua teks yang tergabung dalam satu naskah tersebut tidak melulu bercerita tentang Walangsungsang, melainkan juga tentang tokoh-tokoh lainnya, termasuk cerita asal-usul desa. Pada bagian berikutnya, tokoh Syarif Hidayat, keponakan Walangsungsang, diceritakan lebih dominan. Perbedaan mendasar dari kedua teks tersebut yaitu pada alur dan penokohan yang berlainan,[3] terdapat pembatas cerita (Carub Kanda)[4], dan adanya bentuk tembang (sinom, pangkur, asmarandana, dll). Tiga hal tersebut hanya terdapat dalam naskah B, tidak ada dalam teks A.
Pada mulanya, makalah ini akan menggunakan tiga naskah asal Cirebon sebagai sumber utama: Cariyos Walangsungsang, Babad Cirebon, dan Negara Kertabhumi, tidak seperti yang dijelaskan di atas. Namun, setelah diidentifikasi, yang menguraikan beberapa jenis makanan lebih banyak terdapat dalam naskah yang pertama. Pada naskah kedua hanya menyinggung satu jenis makanan, beegitu pula dengan naskah yang ketiga lebih banyak menjelaskan tentang silsilah kekuasaan kerajaan di wilayah Jawa Barat dari Tarumanagara hingga ke Cirebon serta pembagian kekuasaan keraton Cirebon. Demikian alasan penentuan pada satu naskah Cariyos Walangsungsang. Kendati demikian, tidak melulu mengambil satu naskah tersebut, melainkan memanfaatkan naskah-naskah lain serta sumber terbaru untuk mengafirmasi sumber utama.
Secara etimologi, terminologi Cirebon berhubungan dengan pangan. Kata ini berasal dari dua kata, ci/cai dan rebon. Di dalam bahasa Sunda, cai berarti air, dalam konteks ini adalah air sisa pembuatan terasi (blendrang), sedangkan rebon adalah udang kecil sebagai bahan dasar pembuatan terasi. Perihal demikian, akar sejarahnya sudah ada sejak abad 15, bahkan sampai abad 20 Cirebon masih diakui sebagai penghasil udang dan terasi berkualitas, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal tapi juga nasional. Tidak berlebihan jika Cirebon mengaitkan identitas budayanya pada pangan, yang kini dikenal dengan kota udang. Perihal demikian juga berlaku bagi daerah-daerah lain, seperti: Brebes kota bawang, Indramayu kota mangga, subang kota nanas, Karawang kota padi, Depok kota belimbing, dst.
Nama lain dari Cirebon adalah Grage, berasal dari kata glagi yang berarti udang kecil sebagai bahan dasar pembuatan terasi. Kata glagi juga berhubungan dengan pangan. Menurut penduduk setempat, kata Grage merupakan kependekan dari Nagari Gede, yang lama kelamaan dilafalkan Garage atau Grage. Ada pula yang menyatakan bahwa kata Cirebon berasal dari Sarumban atau Caruban yang berarti campuran, karena dahulu wilayah ini sudah dihuni oleh masyarakat multikultural, terdiri atas golongan, suku, bangsa, agama, aksara, bahasa, dan pekerjaan yang berlainan. Demikian yang jelaskan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 Masehi (Atja, 1972:1).
Caruban adalah nama pemukiman yang terletak di pedalaman, bagian barat dari pantai, atau disebut dengan Cirebon Girang. Di sebelah utara terdapat daerah Surantaka dan Singapura, sedangkan Jayapura di sebelah timur. Di wilayah ini, terdapat pemukiman nelayan, pelabuhan kapal, dan pusat transaksi (Pasar Pasambangan). Daerah-daerah tersebut sudah ada sejak abad 13, kedudukannya dibawah kekuasaan Raja Galuh, yang menjadi pengurus pelabuhan (Muara Jati) adalah Ki Gedeng Alang-Alang. Pada masa itu, banyak sekali kapal yang berkunjung karena letaknya strategis dan sangat ramai. Baru paruh pertama abad 14 kemudian, agama Islam masuk ke tanah Jawa Barat dibawa oleh dua ulama besar, Syekh Quro dan Syekh Nurjati, yang menarik perhatian Walangsungsang dan Rarasantang (Sobana dan Tawaludin, 2011:23). Adanya pelabuhan kapal dan pasar sebagai pusat distribusi hasil bumi ke masyarakat mengandaikan bahwa wilayah ini sudah memiliki satu sistem ekonomi atau tata niaga yang cukup baik.
Selain masyarakat nelayan, Cirebon juga memiliki masyarakat petani yang tak kalah pentingnya dalam membangun kemandirian suatu daerah. Menurut cerita, Walangsungsang adalah orang yang mengajarkan bercocok tanam atau menanam tumbuhan sayur-sayuran kepada para pendatang. Salah seorang tokoh perempuan yang gemar bercocok tanam, yang cukup popular dalam tradisi lisan adalah Nyi Mas Gandasari atau Nyi Mas Panguragan. Masa itu, tradisi makan tumpeng dengan lauk panggang ayam sudah membumi, tidak hanya saat ada perjamuan besar tapi juga individual.
Kebiasaan ini berlanjut hingga beberapa abad ke depan, seperti saat Sultan Agung melakukan penyerangan atas Jayakarta, Sultan Cirebon menyambutnya dengan aneka ragam makanan. Jumlah kapal Mataram yang singgah  di pelabuhan Cirebon tak terhitung  banyaknya. Oleh Raja Cirebon, mereka dijamu dengan makanan dan minuman yang serba enak. Mereka semua adalah tentara Mataram yang berasal dari sejumlah daerah: Madura, Pamekasan, Sumenep, Balega, Sampang, Arisbaya, Surabaya, Brebes, Telegil, Gombong, Nambeng, Wiradesaki, Batang, Kendal, Kaliwungu, Gresik, Lamongan, Tuban, Lasem, Sedayu, Demak, Kudus, Japara, Juwana, Pekalongan, Rembang, Bagelen dan Sumedang (Ayatrohaedi, 2005).
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Cirebon memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pokok permasalahannya adalah, seberapa penting kedudukan hasil bumi bagi pembangunan kemandirian daerah Cirebon.
B. Deskripsi Naskah
Jumlah naskah Walangsungsang ada empat, dua naskah berjudul Cariyos Walangsungsang, satu naskah Raden Walangsungsang, dan satu naskah lagi berjudul Walangsungsang (menurut pemiliknya). Dari keempat naskah tersebut, yang tidak memiliki judul adalah naskah terakhir. Semua naskah itu dikategorikan sebagai sastra sejarah karena di dalamnya memuat informasi kesejarahan. Adapun naskah-naskah tersebut akan diuraikan dibawah ini:
Pertama, naskah Cariyos Walangsungsang (A), koleksi Rafan Safari Hasyim. Berdasarkan manggala, naskah disalin pada tanggal 16 April 1946 M; Inilah Cariyos Pangeran Walangsungsang, 16/4/46. Tidak disebutkan nama penyalinnya, anonim, hanya terdapat catatan waktu lahir dua orang anak; Nyai Raden Hayriyah lahir pada malam Sabtu Pon, tanggal 8, bulan Jumadil Akhir, tahun Jim Awal 1365, 11/5/1946 Masehi, dan Raden Ahmad Sayyidi (lahir) pada waktu matahari Jumat Keliwon, tanggal 28, bulan Rajab, tahun Be 1368, 28/5/49. Menurut pemiliknya, naskah disalin oleh Pangeran Rohadi Wijaya Jayakelana (pemilik pertama) kemudian diwariskan ke Raden Syarif Rohani Kusumawijaya, diwariskan lagi kepada Raden Syarif Zaenal Asyiqin Tirtawijaya, dan akhirnya diterima oleh pemiliknya yang sekarang. Jumlah keseluruhan halaman 130, terdiri atas 18 baris. Untuk jumlah halaman teks pertama (A) 59 halaman. Teks menggunakan bahasa Jawa, aksara Pegon, dengan tinta warna biru dan hitam. Ukuran naskah 34x21cm, dan ukuran blok teks 31x15cm. Alas naskah menggunakan kertas bergaris, sudah dijilid dengan kertas karton, dan penjilidan masih baru.
Kedua, naskah Cariyos Walangsungsang (B). Naskah ini memiliki banyak kesamaan dengan naskah pertama, karena masih satu naskah dengan teks yang pertama. Kesamaan itu terletak pada jumlah baris tiap halaman, bahasa, aksara, alas naskah, sampul, penjilidan dan fisik naskah. Bedanya, jumlah halaman pada naskah ini 71, disalin pada tahun 1947, serta isi teksnya berlainan (versi).
Ketiga, naskah Raden Walangsungsang. Naskah tersebut masih satu varian dengan naskah versi A. Judul tersebut ditulis oleh pemiliknya, Tarka. S. Ukuran naskah 20.7x16 cm, dan ukuran blok teks 17.5x16 cm. Jumlah halaman 44, tiap halaman terdiri atas 12-15 baris. Jarak tiap baris (liniearing) 1 cm. Alas naskah menggunakan kertas bergaris, naskah dijahit dengan benang. Tinta berwarna hitam dan abu-abu, menggunakan pulpen dan pensil. Bahasa yang digunakan adalah Jawa dengan aksara Jawa/Carakan. Halaman depan dan belakang tidak ada, tidak lengkap. Kondisi naskah rusak, jilidan lepas, dan sudah lapuk. Meskipun alas naskah banyak yang rusak namun secara keseluruhan teks masih terbaca. Naskah ini diambil dari makam keramat Ketepeng Reges, Indramayu. Menurut pemiliknya naskah ini digunakan bagi seni pertunjukan Wayang Golek Cepak. Halaman awal: “…putranne Darugem lajeng huluk salam, Seh Darugem ngucap hing mannah ngisenni Pandita Jawa kurang ngadab…”. Halaman kedua: “Kocappa Walangsungsang prapta niki sek ngora sejataken hilmu hagami nuli dituduh…”
Keempat, naskah Walangsungsang koleksi Bapak Ahmadi. Naskah ini memiliki ukuran 21x16cm, dan ukuran blok teks 18x13cm. Jumlah halaman 210, tiap halaman terdiri atas 12 baris. Naskah tidak memiliki judul. Bahasa yang digunakan adalah Jawa, aksara Jawa/Carakan, ditulis dengan tinta warna hitam. Alas naskah dengan kertas Eropa. Naskah ini tidak lengakap, halaman awal dan akhir tidak ada. Terdapat rubrikasi warna merah, serta penomoran halaman dengan aksara latin menggunakan pensil. Kondisi fisik sudah lapuk, rusak, dan robek, terutama pada beberapa halaman awal. Sampul tidak ada, hanya dijahit dengan benang, namun jahitan lepas. Naskah ini masih satu varian dengan naskah pertama dan ketiga: Carita kang kinawai Walangsungsang.
C. Ringkasan Cerita
Suatu hari, Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran) dan Nyi Sari ditinggal pergi oleh kedua anaknya, Walangsungsang dan Rarasantang, untuk belajar ilmu agama kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Padahal, Raden Walangsungsang adalah pewaris tahta sang ayah, sementara adiknya, Dewi Rarasantang akan dipersiapkan menjadi bupati. Walangsungsang kabur lebih dulu lewat pintu belakang. Setelah sekian lama baru kemudian disusul adiknya. Mereka berlari seperti ayam alas atau kadal, melewati hutan lebat dan pegunungan, tidak makan tidak tidur, sampai akhirnya bertemu dengan Sang Hyang Danuwarsih.
Suatu hari Walangsungsang berburu burung bangau dengan menggunakan anyaman bambu sebagai perangkap (wadong), di dalamnya diberi umpan ikan. Saat burung bangau masuk ke dalam jebakkan yang ia letakkan di atas pohon, segera ia menangkapnya. Burung itu akan dijadikan petis. Namun, tiba-tiba burung tersebut berbicara, supaya tidak dimasaknya. Oleh burung tersebut, Walangsungsang diajak ke Gunung Cangak, dan tiba-tiba burung itu berubah menjadi raja. Lalu, Walangsungsang diberi jimat piring panjang, bareng, dan pendil baja, sebagai ungkapan terimakasih karena tidak membunuh dan tidak memasaknya menjadi petis.
Walangsungsang bertemu dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati, orang yang pernah berjumpa dalam mimpinya. Ia diajarkan ilmu agama Islam. Tak lama kemudian Rarasantang menyusul ke tempat Syekh Nurjati, dan bertemu dengan kakaknya. Mereka berdua berpeluk tangis. Setelah itu, Walangsungsang mendirikan desa Kebon Pesisir, pesantren dan Masjid Panjunan atas perintah gurunya, luasnya hingga 1000 hasta. Di Kebon Pesisir, Walangsungsang bekerja sebagai penjaring ikan dan udang di laut untuk dijadikan sebagai terasi, dengan menggunakan perahu kecil. Ia menumbuk hasil tangkapannya serta menjemurnya di Gunung Cangak dan di Girang.
Walangsungsang menikah dengan Nyi Indang Gelis dan memiliki anak bernama Pakungwati. Sementara, Rarasantang, dari perkawinannya dengan Raja Utara, melahirkan Syekh Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Saat Syarif Hidayatullah dewasa, ia berkelana ke sejumlah negara demi ingin berguru kepada Nabi Muhammad. Hasrat ingin bertemu dengan Nabi Muhammad mulai timbul setelah ia mempelajari kitab-kitab milik ayahnya. Ketika dalam perjalanan ia diberi roti oleh seorang wanita, khasiatnya dapat berbicara 1000 bahasa.
Akhirnya, Syekh Syarif bertemu dengan Nabi Muhammad. Putra Rarasantang itu diperintahkan Nabi Muhammad untuk mempelajari al-Quran dan hadis, serta ikut bergabung ke dalam tarekat Syattariyah. Pertemuannya dengan Nabi Muhammad setelah ia memakan buah kamuksan pemberian dari raja jin, Abdul Syekh Abdu as-Sofari. Selain buah kamuksa, Syekh Syarif juga diberi hidangan berbagai macam makanan.
Syekh Syarif berjalan menuju Pajarakan. Disana ia bertemu dengan orang yang sedang menanam jagung sembari tafakur hingga menyatu dengan Allah. Oleh karenanya, orang itu diberi nama Syekh Majagung. Syekh Majagung juga bekerja sebagai penyadap aren. Saat ia mengambil atau menyadap aren airnya mengalir dares (deras), sehingga ia juga dijuluki Ki Dares. Ia menampung air aren dengan menggunakan bambu untuk dibagikan ke orang-orang. Syekh Syarif menyampaikan kepada Syekh Majagung, bahwa khasiat dua kalimat syahadat dapat mengubah buah jambe menjadi emas. Kalimat tersebut juga diajarkan kepada Pangeran Karang Kendal, Pangeran Makhdum, Pangeran Kajoran, Ki Patih Keling, Raja Palembang, Aceh, Bustam, Turki, Rum dan Syam.
Syahdan, di ceritakan Raden Sayid Durahman berjalan mendampingi Raja Urawan berburu kijang. Raden Sayid adalah abdi dalem Raja Urawan. Suatu hari senjata Tombak Talempeknya tertinggal, Sayid Durahman diperintahkan mengambilnya di istana. Sampai di istana, ia melihat permaisuri sedang berselingkuh dengan Ki Mas Taruna, seorang abdi dalem Raj Urawan juga. Seketika ia teringat akan nasehat kakek tua: rahasia tidak boleh dibuka, rezeki jangan ditolak, dan istri cantik tidak boleh disetubuhi. Putra Tuban tidak melapor kepada raja, tapi permaisuri justru memfitnahnya. Kemudian, sang raja menulis surat kepada Judipati, berisi perintah pemenggalan leher bagi siapa saja yang membawa surat tersebut. Surat itu diberikan kepada Durahman. Sampai di pasar, ia melihat orang bersedekah tumpeng ayam panggang terjejer rapih dipinggir jalan, ia pun tidak menolaknya. Saat sedang lengah, Ki Mas Taruna mengambil surat dari belakang, lalu dibawanya, dan diberikan kepada Ki Judipati. Saat dibaca, leher Ki Mas Taruna langsung dipenggalnya. Sayid Durahman lalu diperintahkan pergi ke Negara Nawungan, rajanya bernama Nyi Rara Ratu, parasnya sangat cantik jelita. Setelah bertemu, Sayid Durahman diajak menikah. Usai menikah mereka tidak langsung bersetubuh. Tak lama kemudian, keluar kelabang putih dari kelamin istrinya, lalu dibantingnya, dan seketika berubah menjadi Keris Kalamunyeng. Setelah kejadian itu, Sang Ratu terjun ke laut selatan (kidul), sehingga ia dikenal dengan Ratu Kidul.
Sayid Durahman kemudian menjadi penjegal di Hutan Japura atas perintah Syekh Kamarullah, dan berganti nama menjadi Lokajaya. Di hutan tersebut, Lokajaya merampok siapa saja, orang Jawa, Cina, Madura, saudagar kaya, atau pejabat Majapahit, termasuk warga biasa. Suatu hari, dua orang suami-istri, Ki Dares dan Nyi Mukena dijegal oleh Lokajaya saat mereka berdua sedang memikul nasi tumpeng, beras tumbuk anyar, dan ayam panggang. Nyi Mukenah diserang dan direbut barang bawaannya oleh Lokajaya hingga tersungkur ke rumput sehingga ia menangis, dan memohon maaf kepada Tuhan, karena telah menyakiti rumput. Lokajaya menusukkan tombaknya ke tubuh Nyi Mukena, namun tak mempan, ia kebal senjata tajam. Lokajaya langsung sujud dan bertobat. Untuk menghapus semua dosa-dosanya, Lokajaya dikubur selama satu tahun, baru kemudian ia diperintahkan berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Syahdan, Syekh Syarif mengunjungi Syekh Bentong yang sedang makan nasi tumpeng usai bertapa. Syekh Syarif datang dari belakang dan menyampaikan salam, namun tidak dihiraukannya. Tamu itu memetik tiga lembar daun api-api, begitu dilempar berubah menjadi bebek, dan memakan tumpeng milik Syekh Bentong. Sykeh Bentong membantingnya, hingga mati. Syekh Syarif meminta menghidupkannya kembali. Oleh karena Syekh Bentong tidak bisa, maka ia diperintahkan untuk berguru lagi.
Di Dalem Agung, Pangeran Lokajaya atau Syarif Durahman sedang mananti kehadiran Syekh Syarif sembari badannya membungkuk hormat selama 99 bulan, oleh karenanya tempat itu dinamakan Kuta Wungkuk. Lokajaya diperintahkan pergi ke Kali Cimanuk untuk berzikir dengan membawa 100 buah kemiri. Namun, buah kemiri itu terjatuh ke sungai. Saat diambil ia terbawa arus banjir bandang dan menyeretnya hingga ke Pulau Hening. Di sana ia bertemu dengan Nabi Hidir dan diberi pusaka pisau, kempek dan endong, serta dua nama: Pangeran Adilangu dan Sunan Kalijaga. Pusaka-pusaka tersebut adalah alat untuk membuat wayang yang digunakan sebagai media dakwah agama Islam.
D. Kedudukan Pangan di Cirebon
Keberadaan tentang hasil bumi yang dimiliki penduduk Nusantara tidak hanya Cirebon, tapi juga wilayah lain. Kepulauan Maluku, Ternate dan Tidore adalah tiga wilayah penting yang sering disebut pada masa era pendudukan bangsa asing atas Nusantara, karena wilayah-wilayah tersebut sangat kaya akan rempah-rempah. Bahkan, kerajaan kolonial Portugis, Inggris dan Belanda dibangun atas dasar kepentingan kayu manis, cengkeh, lada, pala dan bung pala. Tidak berlebihan jika pada tanggal 7 Juli 1503, Christopher Columbus, dalam suratnya yang ditulis di Jamaika menegaskan bahwa Hindia adalah wilayah terkaya di dunia. Menurutnya, di negeri ini banyak sekali emas, mutiara, batu berharga, dan sejumlah rempah-rempah, sebagai barang dagangan yang beredar di pasar (Jack Turner, 2011:xvi&3).
Di Jawa, sejak abad 14, beras sudah diperebutkan oleh banyak bangsa Eropa, karena nilai jualnya yang sangat tinggi. Nilai beras seperti halnya cengkeh dan pala dari Maluku, atau lada dari Sumatra dan Banten. Pada waktu yang bersamaan, Cirebon sudah dikenal memiliki kekayaan yang relatif banyak, bukan hanya beras, tapi juga jagung, ikan, daging binatang ternak, dll. Namun, pertumbuhan wilayah Cirebon (termasuk Demak dan Banten) baru mulai tampak pada abad 15-17, yaitu saat perkembangan perdagangan di Asia Tenggara meningkat signifikan (Djuliati Suroyo, 2003:89-90). Bahkan, hingga abad 19, perkembangan ekonomi Cirebon terus mengalami kemajuan, sebagaimana disebutkan dalam naskah Catatan Saking Dusun Junti. Komoditi yang cukup menjanjikan pada masa itu adalah binatang ternak, seperti kerbau, kambing, dan sapi. Adapun jenis-jenis kebutuhan pokok lain yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan domestik adalah garam, jagung, terasi, ikan, rusa, beras, dan ayam.
Walangsungsang mendirikan Kebon Pesisir di perkirakan jatuh pada tanggal 8 April 1445 Masehi (Sobana dan Tawaludin, 2011:23). Meskipun Walangsungsang bukan orang pertama yang menduduki Cirebon, akan tetapi kehadirannya patut dipertimbangkan. Amparan Jati adalah nama dukuh sebelum Walangsungsang mendirikan Kebon Pesisir. Di sebut Kebon Pesisir karena mata pencaharian penduduknya sebagai tukang kebun atau petani dan nelayan, tempat tinggal mereka di pesisir. Para petani menghasilkan beras atau padi dan jagung, sedangkan nelayan menghasilkan ikan dan udang atau sejenisnya.
Disadari atau tidak, beberapa hasil bumi tersebut merupakan suatu faktor yang memungkinkan Cirebon menjadi wilayah mandiri yang pada akhirnya mengundang perhatian para pedagang asing yang berbuntut pada penjajahan. Diakuinya Cirebon sebagai salah satu wilayah penghasil makanan pokok terus berlanjut hingga beberapa abad ke depan. Tidak heran jika VOC meminta pelabuhan Cirebon yang kedudukannya sangat penting, setelah berkoalisi dengan Pangeran Puger dalam rangka merebut dan menggantikan posisi Amangkurat I.  Sebagai hasilnya, ia mendapatkan gelar Pakubuwono II pada tahun 1705 (Leirissa, 2003:71).
D.    Jenis-Jenis Pangan dan Mata Pencaharian
Di dalam naskah Cariyos Walangsungsang disebutkan tentang jenis-jenis pangan di daerah Cirebon. Berbagai jenis pangan itu sebagian banyak berupa kebutuhan primer, yang dapat di kelompokkan menjadi dua: makanan jadi (nasi, petis, panggang ayam, nasi tumpeng, dan air aren) dan bahan mentah (daging ayam, ikan air tawar, ikan laut, daging burung bangau, daging kijang, daging bebek, jagung, buah kemiri, dan beras anyar).
Baik makanan siap saji maupun bahan mentah menandakan bahwa dahulu masyarakat Cirebon pernah ada tradisi makan dengan menu dan bahan dasar seperti itu. Dari sini dapat ditarik sebuah simpulan akan mata pencaharian penduduk setempat, yakni sebagai nelayan, petani dan peternak. Di samping itu, ada pula mereka yang berprofesi sebagai pemburu.
Ketika Syekh Syarif datang ke Cirebon pada tahun 1470, perekonomian di wilayah ini sudah cukup mapan, karena ada sejumlah tokoh pendahulu yang berhasil menciptakan sistem mata pencaharian. Tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan nelayan adalah Walangsungsang, sementara Nyi Mas Gandasari, Ki Gede Babadan, Syekh Majagung, dan Nyi Endang Darma Ayu hanya sebagai petani. Ki Gede Babadan bukan hanya petani, melainkan pemilik ladang jagung yang membentang luas. Begitu pula dengan Endang Darma Ayu, bukan hanya sebagai petani biasa, ia adalah pembawa bibit (padi, jagung, kacang, pepaya, sayur-sayuran, dll.) dari Palembang, bahkan ia mengajarkan tata cara berocok tanam kepada penduduk Cimanuk (sekarang Indramayu). Kala itu dukuh Cimanuk masuk ke dalam wilayah Cirebon (Dasuki, dkk., 1976:69-70).
Muara Jati adalah suatu pelabuhan penting yang dikepalai oleh Ki Gedeng Tapa, sementara yang menjadi mangkubumi adalah Jumajan Jati. Beberapa jenis pangan yang pernah diangkut ke Majapahit dengan menggunakan perahu hingga penuh adalah garam, terasi, beras tumbuk, dan rempah-rempah (grabadan), termasuk kayu jati. Jenis-jenis kebutuhan pokok tersebut diterima sebagai upah proyek pembangunan mercusuar selama tujuh hari tujuh malam yang dikerjakan oleh orang-orang dari Majapahit. Pembangunan itu terletak di pelabuhan Cirebon atas perintah juru labuhan (Atja, 1972).
Jenis-jenis hasil bumi yang pernah dipr oduksi pada masa itu terus berlanjut, khususnya di sepanjang abad 17, hingga berhasil memenuhi permintaan pasar nasional, tentunya setelah kebutuhan domestik sudah terpenuhi. Hasil bumi itu diambil dari sejumlah titik perkampungan lalu angkutnya ke Batavia untuk di ekspor ke negara lain. Adapun jenis pangan yang dibawa ke luar wilayah adalah: beras, kacang, daging rusa, ayam, bawang, sayur, pisang kering, lada, gula hitam, gula puth, asam, kelapa tua, garam, sapi, telur asin, tebu, manggis, duren, ikan asin, daging kerbau, dll. (Dasuki, dkk., 1976:177-192).

F. Pangan Sebagai Modal Otonomi Cirebon
Pada umumnya, pandangan atas otonomi Cirebon tersentral pada figur Syekh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, selaku putra Raja Mesir dan cucu raja Pajajaran. Sebagai konsekuensinya, akan berujuang pada satu kesimpulan bahwa kemandirian Cirebon disebabkan oleh faktor politik dan agama, dengan dibantu para wali. Namun, jika dilihat dari kekayaan alam yang ada, kemandirian wilayah Cirebon di bawah Pajajaran, disebabkamn oleh faktor ekonomi. Dengan berprofesi sebagai nelayan dan petani, penduduk Cirebon berhasil membangun wilayahnya sendiri, oleh karenanya posisi perkampungan itu diperhitungkan sejak masa Pajajaran hingga era kolonialisasi bangsa Eropa.
Kemapanan perekonomian Cirebon sudah terlihat sebelum kehadiran Walangsungsang. Namun, perannya dalam membangun Kebon Pesisir, yang kelak menjadi Cirebon, patut dipertimbangkan, karena ia adalah santri daripada Syekh Nurjati, ulama besar yang memerintahkan mendirikan Kebon Pesisir. Ulama tersebut adalah tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam di Cirebon. Di samping itu, karena Walangsungsang merupakan putra Baginda Raja Prabu Siliwangi, raja Pajajaran, yang kekuasaannya terbentang hingga ke Cirebon, termasuk wilayah yang diduduki oleh gurunya. Tidak heran jika dalam waktu singkat Kebon Pesisir sudah dipadati penduduk dengan profesi sebagai peladang atau tukang kebun serta nelayan. Oleh karena itu kehadirannya di Amparan Jati merupakan tonggak penting dalam sejarah perkembangan Cirebon hingga menjadi daerah otonom.
Dari sekian banyak jenis makanan, terasi adalah salah satu jenis pangan yang paling digemari, baik oleh penduduk pesisir maupun oleh orang-orang dari daerah pegunungan, yaitu sejak masa Walangsungsnag. Makanan tersebut merupakan hasil kreatifitas para nelayan dengan peralatan sederhana, suatu profesi yang banyak dimiliki masyarakat Cirebon (Atja, 1972:52). Tidak heran jika Galuh, selaku atasan, mengeluarkan suatu kebijkan bagi Kebon Pesisir untuk membayar pajak berupa terasi (juga garam) dalam jangka waktu cukup lama. Namun, sejak pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah, keponakan Walangsungsang, Raja Cirebon ini menghentikan pembayaran pajak. Tidak lagi mengirim terasi ke Galuh. Karena, ia menyadari bahwa kekayaan alam yang ada di wilayah tersebut tidak hanya terasi dan garam, tapi juga berbagai kebutuhan pokok lainnya, yang mampu menciptakan sautu wilayah otonom. Di samping itu, kehadiran sejumlah saudagar di wilayah yang didirikan oleh Walangsungsang tersebut, juga turut berperan serta dalam meningkatkan nilai suatu hasil bumi. Walla>hu a’lam bis}s}awa>b.




















Daftar Pustaka
Atja, 1972. Carita Purwaka Caruban Nagari (Sejarah Mula Jadi Cirebon). Ikatan Karyawan Museum.   
Ayatrohaedi, 2005. Sundakala: Cupilkan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Wangsakerta “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Dasuki, dkk., 1976. Sejarah Indramayu. Indramayu: Pemda Indramayu.
Hardjasaputra, A. Sobana dan Haris, Tawalinuddin, ed., 2011. Cirebon  dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20). Jawa Barat: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Hata, N., 2013. Cariyos Walangsungsang. Laporan Penelitian. Cirebon.
Leirissa, R. Z., 20013. “Perdagangan dan Kekerasan pada Masa VOC”, dalam Forum Dialog Indonesia-Belanda, VOC: Dua Sisi dari Perusahaan Multinasional Dunia yang Pertama. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Suroyo, A.M Djuliati., 20013. “VOC dan Eksploitasi Kolonial di Jawa: Monopoli, Tanam Paksa, dan Beli Paksa”, dalam Forum Dialog Indonesia-Belanda, VOC: Dua Sisi dari Perusahaan Multinasional Dunia yang Pertama. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Suryaatmana Emon dan Sudjana T.D., 1994. Wawacan Sunan Gunung Jati. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Turner, Jack, 2011. Sejarah Rempah, dari Erotisme sampai Imperialisme. Penerjemah Julia Absari. Depok: Komunitas Bambu.
Widada, dkk., 2001. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Sumber Naskah:
Babad Cerbon, koleksi Tarka. S
Cariyos Walangsungsang (A), koleksi Rafan Safari Hasyim
Cariyos Walangsungsang (B), koleksi Rafan Safari Hasyim
Catatan Saking Dusun Junti, koleksi Perpustakaan Nasional RI
Raden Walangsungsang, koleksi Tarka. S
Walangsungsang, koleksi Ahmadi




[1] Di seminarkan di Perpustakaan Nasional RI, Seminar Naskah Kuna Nusantara, “Pangan dalam Naskah Kuna Nusnatra”, Rabu, 18 September 2013.
[2] Staf pengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta.
[3] Kedua teks ini saya sebut dua versi yang berlainan karena memiliki banyak perbedaan, antara lain: teks A bercerita kepergian Walangsungsang mencari agama Islam tidak direstui oleh ayahnya sedangakan teks B orang tuanya memberikan restu izin.
[4] Carub Kanda berarti campuran atau kumpulan berbagai cerita (Widada,dkk., 2001:95&336).
Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search