Buyut, Kebuyutan, dan Masyarakat Cirebon-Indramayu

- 00.48
advertise here
advertise here
Oleh Nurhata


Buyut, sedikitnya memiliki dua makna. Pertama, buyut dapat diartikan dengan anaknya cucu, generasi ketiga, (anak, putu, buyut, canggah, wareng, dst.). Kedua, buyut berarti para leluhur, orang-orang terdahulu. Sementara itu, kebuyutan merujuk pada tempat (dikebumikannya seorang sesepuh atau leluhur).

Pada masa kerajaan Pajajaran, istilah buyut telah dikenal luas. Konon, saudara-saudara Prabu Siliwangi yang tidak memeluk agama Islam mereka menjadi siluman. Oleh Prabu Siliwangi, mereka diberi tugas untuk menjaga perbatasan Cirebon, dari empat arah mata angin.

Cirebon, juga diimajinasikan oleh pujangga keraton, seperti wilayah yang diberi pagar, membentuk garis per segi. Pada setiap pagar itu dijaga oleh empat para buyut  dari keluarga Prabu Siliwangi juga. Empat buyut itu menjaga garis di sebelah utara, selatan, barat, dan timur. Satu buyut lagi bertugas menjaga gerbang negara Cirebon. Wialayah Cirebon sendiri menghadap ke laut.

Para siluman itu yang menjaga masyarakat Cirebon. Sewaktu-waktu mereka akan menampakkan diri dalam berbagai macam wujud binatang. Namun mereka bukanlah totem, seperti agama primitive yang dijelaskan oleh Durkheim.

Istilah buyut lalu berkembang, merujuk pada makna orang-orang terdahulu dalam arti luas. Pada umumnya, merujuk pada orang-orang besar, mimiliki derajat sosial tinggi, termasuk para ulama. Di Karangkendal, ada yang bernama Buyut Karangkendal. Buyut Karangkendal adalah Ma Huan atau Dampu Awang yang meninggal di Karangkendal, setelah mengejar Nyi Junti. Sebagaimana dikenal dalam sastra-sastra Nusantara, Ma Huan adalah seorang saudagar kaya raya, asal negeri Cina.

Di Indramayu, ada yang dikenal dengan Buyut Sapu Angin. Beberapa pendapat tentang Buyut Sapu Angin, antara lain, diidentikan dengan Bagus Rangin dan Sapu Angin (tokoh penting Majapahit, dalam manuskrip Sabdo Palon Naya Genggong).

Orang-orang yang kini kerap mengggelar syukuran sedekah bumi dalam rangka menjaga hubungan baik dengan leluhur mereka; menghormati jasa-jasa para leluhur. Bukan menyembahnya. Menganggap bahwa upacara adat sedekah bumi sebagai praktik menyembah leluhur sama dengan mensejajarkan Tuhan dengan para Buyut.

Wallahu a’lam.


Advertisement advertise here

5 komentar

avatar

Kebuyutan atau buyut adalah tradisi terun temurun dari nenek moyang kita dan kita wajib melestarikannya tapi jangan sampe melestarikan tapi menyimpang dengan adanya meminta minta pada makam atau buyut itu.kita hanya wajib mendoakan saja bukan yang lain karena buyut itu bukanlah tuhan dan tidak boleh di sejajarkan dengan tuhan allah swt, dan ada juga tradisi ngunjung buyut nah itu juga banyak yang salah mengartikan dalam ngunjung buyut dan di tanah jawa ini masih kental dengan ilmu kejawennya
Dalam tradisi sedekah bumi itu bukan praktek penyembahan nenek moyang tapi sebagai wujud sukur manusia terhadap bumi atau tanah yang sudah menyediakan bahan pangan bagi mereka

Wassalam

avatar

Sejalan dengan pendapat" teman" ke intinya bahwa kita adalah mahluk ciptaan tuhan yang maha segalanya. Namun pendapat saya dengan adanya buyut dengan bahasa budaya kami. Dan itu termasuk budaya indonesia, dan budaya adalah cirikas suatu bangsa dan daerah" tertentu... bahwa buyut/ leluhur kita pada intinya tujuanya memperjuangkan anak cucu dan turunanya atau masyarakatnya agar lebih baik dari sebelum"nya ke generasi selanjutnya, untuk mendoakan/merayakanya itu termasuk tanda terima kasih dan patut di lestarikan, namun tidak lebih dari adanya kepercayaan masing" yang penting kita tidak memecahkan suatu bangsa. Klw secara agama itu adalah pendapat pribadi yang pnting kita tidak memecahkan suatu bangsa gara" beda pendapat.. Jadinya sebuah bangsa itu karena para leluhur kita yang memperjuangkan dan kita patut menghormatinya tapi bukan menyembahnya. Ini pendapat saya terimkasih

avatar

Menurut saya, dengen adanya kepercayaan seperti tulisan ini yaitu lebih tepatnya kita sebagai bangsa yang berbudaya diharuskan untuk menghormati peninggalan leluhur kita dan melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah, perihal mengenai sedekah bumi yang diartikan mensejajarkan para buyut dengan Tuhan itu menurut saya salah karena dalam praktiknya sedekah bumi itu hanya adat istiadat dan perlu dilestarikan karena mempunyai keunikan. Yang saya tahu biasanya kita tetap berterima kasih kepada Allah swt dan bersalawat kepada nabi Muhammad saw. Adapun pertunjukan keseniannya yaitu wayang kulit yang ceritanya mengandung tuntunan untuk yang melihatnya. Jika memang masih ada yang memahami dan mempraktikan sedekah bumi yang menjajarkan para buyut atau leluhur dengan Tuhan sepertinya hal ini harus diluruskan dan diberi pemahaman kepada masyarakat yang mempraktikannya.
Budaya itu sangat perlu dilestarikan karena meurapakan ciri khas dari suatu daerah. Menurut saya kebuyutan sangat perlu dilestarikan, karena biasanya makam-makan atau tempat petilasan yang dikenal sudah lama oleh masyarakat dan cenderung dilestarikan itu biasanya orang yang berada dan pernah berada di tempat itu adalah orang yang sangat berpengruh pada masanya di daerah itu sendiri, sehingga muncul lah rasa kesadaran dari masyarakat sekitar menganggapnya sebagai pahlawan dan otomatis tempat petilasan atau makamnya perlu dijaga sebagai wujud dari rasa terima kasih dan kita juga wajib menghormatinnya dan melestarikannya. Karena itu semua adalah bagian dari kearifan lokal sekitar dan menjdi budaya yang perlu kita jaga dan lesrarikan. Terima kasih

avatar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
avatar

Menurut saya sedekah bumi adalah salah satu bentuk ijtihad para wali, pada zaman dahulu saat masyarakat belum mengenal islam pasti sangat sulit jika tiba tiba para wali langsung berdakwah di tengah tengah masyarakat, jangankan zaman dulu, zaman sekarangpun susah dikiranya sok alim dll, nah lewat moment sedekah bumi inilah para wali menyelipkan sedikit demi sedikit ilmu ilmu keislaman, contohnya saja wayang pandawa 5 yang mengandung arti rukun islam yang lima, taun lalu saat ada penampilan teater pas olimpiade sejarah di kampus, disitu di ceritakan bahwa saat itu masyarakat menyembah pohon dan sebagainya.wali tidak melarang untuk mengadakan acara membawa sesajen tersebut,tapi disitu wali meluruskan sesajen ini sedekah untuk mahluk hidup, bukan makanan untuk nenek moyang, tapi untuk kita makan bersama, dan kalau kita memang ingin memberikan sesuatu untuk menghargai nenek moyang kita, kita bacakan doa dan tahlil saja, dulu mungkin memang iya acara acara seperti ini adalah bentuk penyembahan pada leluhur, tapi itu dulu, karna semenjak kehadiran para wali, isi nya sudah di rombak, di dalam nya sekarang terselip doa ,rasa syukur dan usaha menjaga kekompakan sesama masyarakat.


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search