oleh Nurhata
Bagi masyarakat Cirebon dan Indramayu, yang disebut dengan dalang adalah mereka yang berperan atau memiliki keahlian dalam kaitannya dengan upacara adat atau seni pertunjukan. Jadi, dalang memiliki arti luas, penabuh genjring (rebana) disebut dalang genjring, pengidung atau tukang tembang macapat disebut dalang macapat, pemain wayang disebut dalang wayang, dan seterusnya. Definisi itu mengalami penyempitan makna bersamaan dengan terus menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian rakyat atau seni pertunjukan lokal (tradisional). Pada kesempatan kali ini saya membatasinya hanya dalang wayang saja.
Sebagai seorang dalang wayang, memiliki kitab babon 'naskah kuna' wajib hukumnya. Kitab tersebut digunakan sebagai semacam acuan cerita pada setiap pementasan seni pertunjukan (performance art) yang diselenggarakan di berbagai kesempatan. Setidaknya, para dalang wayang memegang erat tradisi itu hingga pertengahan abad ke-20.
Untuk dapat memiliki kitab babon, sang dalang harus pandai membaca dan menyalin naskah, bahkan akan mendapatkan nilai tambah jika mampu mengadaptasi cerita yang terkandung di dalamnya. Menyalin dan mendalang kemudian menjadi dua kegiatan yang tak terpisahkan, ibarat dua sisi daun. Ki Sonda adalah salah seorang dalang wayang yang turut mengharumkan tradisi kesusastraan seperti itu di sepanjang pertengahan abad ke-20.
Jejak Sang Maestro
Sebagian kecil masyarakat Indramayu, terutama usia lanjut, tidak begitu asing dengan nama Ki Sonda. Ia adalah seorang seniman besar yang pernah mengibarkan prestasinya di dunia seni pertunjukan wayang Kemahirannya dikenal di seantero jagat pedalangan dan semua lapisan masyarakat Cirebon dan Indramayu. Aneka cerita yang melekat erat dalam ingatan masyarakat diperoleh dari aktivitasnya, seperti legenda asal-usul Indramayu, asal mula berdirinya Negara Cirebon, dan kisah kedatangan Laksamana Cheng Ho di tanah Cirebon. Ia juga memiliki banyak referensi tentang ajaran syariat, tarekat, dan tauhid pun. Kini, peran penting Ki Sonda tenggelam seirama dengan perubahan jaman.
Tidak ada dokumen lengkap yang mengungkap sosok Ki Sonda. Kemasyhurannya hanya diketahui dari orang-orang yang pernah menyaksikan pementasannya serta beberapa catatan kecil (naskah kuna) koleksi pribadinya. Ia lahir diperkirakan pada akhir abad ke-19 di Sindang Indramayu. Dari tumpukan naskah koleksinya, hanya naskah Babaripun Naktu dan Lanang Raja Jenggi yang memuatnya.
Naskah koleksi Ki Sonda mencapai puluhan, kebanyakan berupa cerita babad, sisanya naskah-naskah keagmaan. Naskah-naskah itu hampir semuanya berupa ringkasan, barangkali sengaja disesuaikan dengan kepentingannya. Kekayaan sumber cerita yang ia ringkas sendiri akan berdampak baik bagi pementasannya. Jadi, walaupun ritme pementasannya begitu padat, cerita yang dusuguhkan selalu segar dan menarik.
Semua buah karyanya, termasuk teks keagamaan, kebanyakan beraksara Jawa dan berbahasa Jawa, ditulis di atas kertas bergaris. Meskipun kondisi fisik naskah-naskah itu tidak terlalu tua, sekitar setengah sampai satu abad, akan tetapi di dalamnya memuat berbagai informasi penting tentang situasi kebudayaan masa lampau, termasuk kearifan lokal, dan berbagai ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pada naskah yang tercatat di dalamnya, tampaknya Ki Sonda juga menjalin hubungan baik dengan pembuat wayang, salah satunya Jenar Wilut, seorang pembuat wayang golek asal Desa Tambi Indramayu. Ia juga mengenal Sugrawijaya, seorang pencipta Kesenian Tarling, ketua adat, dalang macapat (kidung), dan sekaligus penyalin kuna.
Akibat Ketidakpahaman
Satu hal yang sangat disayangkan dari keluarga ahli waris naskah-naskah milik Ki Sonda, sebuah keyakinan atas naskah sebagai benda yang tidak dapat memberikan manfaat apa pun bagi orang lain dan tidak bisa diwariskan ke sembarang orang. Di tangan mereka, naskah sudah menjadi benda keramat yang berdampak mudarat bagi penerimanya, jika tidak memiliki keahlian tertentu atau tidak melalui ritual khusus.
Oleh pihak keluarga, naskah-naskah Ki Sonda disimpan di pemakaman keramat, persis di tengah lubang pohon. Alasannya, di antara mereka tidak ada yang mengerti bagaimana cara memperlakukan dan merawatnya. Mereka juga merasa khawatir bagi si pewaris jika suatu hari nanti akan mendapatkan petaka. Walhasil, semua naskah lapuk, terkena air, dan banyak yang sukar dibaca. Dengan logika apapun sikap seperti itu sulit diterima akal sehat, bahkan bertentangan dengan prinsip dalang.
Sesungguhnya Ki Sonda tidak pernah menghubungkan naskah dengan klenik. Dalang-dalang lain pun bersikap demikian, memeliharanya dengan baik, seperti Wa Karyo, Ki Sumyuk, dan Ki Gonda. Meskipun perawatan itu masih bersifat tradisional, setidaknya lebih baik daripada meletakannya di tempat angker, yang justru mempercepat proses pelapukan.
Menghubungkan naskah dengan klenik baru belakangan ini. Orang-orang yang melakukan itu hampir semuanya tidak dapat menyentuh substansi teks, apalagi memahaminya. Temuan-temuan di lapangan menunjukkan, betapa banyak naskah yang dibalut dengan kain putih, disimpan bersama dengan benda keramat lainnya. Bahwa orang-orang terdahulu melakukan itu adalah bagian dari cara perawatan memang benar, tapi dewasa ini lebih kepada upaya pensakralan.
Artefak Budaya
Di tangan dalang, cerita yang tertulis kurang dari lima halaman, bisa disampaikan selama berjam-jam, semalam suntuk. Improvisasi seorang dalang paling ditunggu oleh penonton, yang dengannya cerita menjadi lebih hidup. Itu sebabnya, walaupun suatu cerita disuguhkan berulang-ulang oleh dalang yang berbeda, sampai para penonton hafal dengan alur, tokoh, dan latarnya, mereka tetap menantinya.
Selama hidupnya, Ki Sonda banyak meringkas wiracarita Islam, India, dan Jawa. Naskah dangding yang pada awalnya memiliki jumlah halaman ratusan, diringkas menjadi beberapa halaman saja, dengan tidak mengurangi substansi yang terkandung di dalamnya. Plot, latar, dan penokohan tetap terjaga hingga akhir cerita, yang membuat penonton tenggelam dalam lakon yang ia bawakan.
Perbendaharaan cerita yang dimiliki Ki Sonda bisa dilihat dari judul-judul naskah yang ia koleksi, seperti Serat Menak, Jaran Sari Jaran Purnama, Sabda Palon Naya Genggong, Babad Mekah, Lontar Yusup, Lanang Raja Jenggi Madinah, dan Brawijaya. Itu semua belum termasuk cerita-cerita yang populer pada masanya, yang hanya beredar secara lisan.
Demikianlah Ki Sonda, orang yang selama hidupnya mengabdikan diri kepada dunia kesusastraan dan kesenian. Ia adalah artefak budaya. Melupakannya sama dengan mengubur artefak, menimbun ruh tradisi leluhur. Diperlukan usaha keras dari para pemerhati kebudayaan untuk menelusuri jejak-jejaknya.
Dipublikasikan di surat kabar harian umum Fajar Cirebon, hari Selasa, 23 Agustus 2016
muhammadnurhata@gmail.com; 082295405185
Advertisement
EmoticonEmoticon