Peran Pelabuhan dalam Historiografi Tradisional

- 22.36
advertise here
advertise here
oleh Nurhata
Beberapa abad lalu, sekitar abad ke-15, keberadaan pelabuhan-pelabuhan di bagian barat pesisir utara Jawa, telah mendorong lahirnya pedukuhan-pedukuhan. Lebih dari itu, perkembangan pedukuhan di wilayah itu juga sangat dipengaruhi oleh pelabuhan. Sebut saja misalnya, Losari, Amparan Jati, Cirebon Girang, Babadan, dan Indramayu. Desa-desa tersebut dibangun di atas perkembangan pelabuhan dan lokasinya pun tidak jauh dari pelabuhan. Catatan tentang pelabuhan itu, dapat ditelusuri dalam historiografi tradisional, yaitu naskah kuna. 
Sebelum pedukuhan-pedukuhan di Cirebon dan Indramayu bermunculan, terdapat tiga pelabuhan penting yaitu Pelabuhan Japura (Losari), Muara Jati (Cirebon), dan Cimanuk (Indramayu). Pelabuhan Japura yang dikepalai oleh Lebe Usa sudah ramai dikunjungi para pedagang sebelum Dukuh Losari berdiri. Sebelum Desa Kebon Pesisir didirikan oleh Walangsungsang, pelabuhan Muara Jati yang dipimpin oleh Jumajan Jati juga sudah mencapai kemapanannya. Demikian pula dengan Pelabuhan Cimanuk, lebih awal dipadati para pengunjung dari mancanegara sebelum Arya Wiralodra mendirikan Pedukuhan Cimanuk (sekarang Indramayu), termasuk Desa Babadan.Gedeng Jumajan Jati adalah seorang juru labuhan yang berperan penting dalam proses pembangunan Pelabuhan Muara Jati. Projek besarnya yang terkenal adalah pembangunan mercusuar yang dikerjakan oleh orang-orang asal Majapahit. Sebagai upahnya, para pekeraja diberi aneka rempah, diangkut ke Majapahit dengan menggunakan perahu hingga penuh.


Peran Pelabuhan
Pusat-pusat peradaban di Nusantara mulai bergeser dari wilayah pegunungan ke wilayah pesisir pada sekitar abad ke-14. Pergeseran itu bermula dari kedatangan bangsa-bangsa Asing, terutama Arab, ke wilayah pesisir. Muslim Arab kebanyakan, pada awal kedatangannya yaitu untuk berdagang. Namun, karena Islam sebagai agama dakwah, mereka pun berkewajiban menyebarkan agama kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Keberhasilan mereka dalam menyebarkan syiar Islam memiliki dampak sosial yang begitu besar. Antara muslim Arab dan pribumi lama kelamaan terikat oleh tali persaudaraan (ukhwah Islamiyah); muslim Arab seakan memperoleh rumah baru di tanah bertuan. Walhasil, proses akulturasi mulai bekerja. Kedudukan pelabuhan pada perkembangannya menjadi gerbang utama bagi proses akulturasi sekaligus menjadi pusat baru bagi segala aktivitas, baik ekonomi, budaya, maupun agama.
Seorang ulama besar asal Mekah, Syekh Nurjati, menempati pesisir Cirebon pada abad ke-15. Bersama istrinya, yang merupakan saudagar besar, ia membangun pesantren, yang dengannya menarik perhatian putra mahkota Pajajaran, Walangsungsang atau Kuwu Sangkan. Walangsungsang kemudian mendirikan perkampungan Kebon Pesisir atas perintah gurunya itu. Kebon Pesisir akhirnya menjadi suatu kerajaan Islam pesisir setelah dipimpin oleh Syekh Syarif, atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Kedudukan Syekh Syarif diterima oleh semua lapisan masyarakat serta diakui oleh Kerajaan Galuh (hanya sedikit menimbulkan gesekan) karena ia adalah putra Sultan Hut Mesir dan cucu Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Setelah Pedukuhan Kebon Pesisir berkembang menjadi Kesultanan Cirebon, membawahi pelabuhan Muara Jati, Losari, dan Cimanuk, sehingga mendapatkan limpahan keuntungan besar dari tiga pelabuhan itu.
Pada abad ke-16, Cirebon semakin ramai didatangi para saudagar muslim dari mancanegara setelah Portugis berhasil menaklukan Malaka. Pilihan atas Cirebon serta wilayah pesisir utara Jawa lainnnya karena di wilayah itu banyak umat muslim. Hubungan para pedagang muslim pun semakin erat, tidak hanya pada persoalan bisnis tetapi keagamaan dan kesusastraan juga. Tidak heran jika pada abad ke-17, kesusastraan Cirebon mengalami pertumbuhan signifikan.
Catatan Tradisional
Catatan tradisional yang memberitakan situasi Pelabuhan Cirebon pada abad ke-15 disebutkan dalam beberapa naskah, antara lain Negarakertabhumi (Atja dan Ayatrohaedi, 1984), Purwaka Caruban Nagari (Atja, 1972), dan Cariyos Walangsungsang/Babad Cirebon (Nurhata, 2013). Berdasarkan genrenya, naskah-naskah itu disebut sebagai naskah babad, suatu produk era Jawa Tengahan yang sangat populer hingga saat ini.
Ketiga naskah tersebut di atas memiliki keterkaitan erat. Naskah Negarakertabhumi adalah karya 'Panitia Wangsakerta'. Naskah Purwaka Caruban Nagari yang dikarang oleh Pangeran Arya Carbon bersumber dari Negarakertabhumi. Sementara itu, untuk naskah Babad Cirebon, yang memiliki berbagai macam judul (sedikitnya delapan judul), bersumber dari Purwaka Caruban Nagari dan Negarakertabhumi. Hanya melalui naskah-naskah babad seperti itu identifikasi atas pelabuhan Cirebon pada masa silam dapat ditelusuri dengan mudah. Persoalannya, naskah-naskah tersebut turunan dari naskah karya 'Panitia Wangsakerta' yang hingga kini masih polemik. Pada sisi yang lain juga, kita mafhum bahwa sistem pengarsipan masyarakat pribumi berbeda dari cara yang dilakukan oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda misalnya, yang lebih mudah dipahami oleh akal sehat kita.
Satu hal yang tidak boleh kita nafikan, masyarakat Jawa memiliki cara tersendiri mencatat informasi yang dianggap penting, yaitu melalui narasi. Menarasikan suatu peristiwa atau mendeskripsikan sesuatu melalui narasi dengan dibumbui imajinasi liar sang pengarang lebih digandrungi. Latar, plot, dan penokohan, dalam narasi kerap kali menjadi bahan diskusi panjang terutama karena berbenturan dengan akal sehat masyarakat dewasa ini. Apakah persoalan terlalu banyak mengkonsumsi cara bekerja nalar Barat yang sangat rasionalis-ilmiah atau ketidakmampuan kita dalam menjangkau pesan yang dimaksudkan oleh pengarang sebagai representasi zamannya.
Di Jawa, cara tradisional mengabadikan informasi penting dengan narasi, mengalami perkembangan pesat pada era Jawa Tengahan. Sistem pengarsipan itu terus terjaga hingga masa Jawa Baru. Naskah Sedjaraha Koentjit yang ditulis pada tahun 1917, adalah model narasi Jawa Baru asal Cirebon yang menurut saya dianggap paling muda. Naskah tersebut mengisahkan tragedi pemotongan kucir orang Cina oleh para santri di Cirebon dan Indramayu pada tahun 1913.
Pendek kata, tanpa bantuan catatan tradisional, usaha mengungkap situasi Cirebon secara umum, atau peran pelabuhan pada khususnya, akan mengalami kesulitan. Berita tentang pelabuhan-pelabuhan Cirebon dari para penjelajah, seperti dalam catatan Tome Pires Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins yang telah diterjemahkan oleh Cartesão pada tahun 1944, sangat terbatas.  
Baru setelah VOC diambil oleh pemerintah Belanda model pengarsipan di Nusantara mengalami perubahan besar. Segala yang barhubungan dengan masyarakat, jumlah penduduk, surat-surat perjanjian, transaksi jual beli, surat-surat pajak, jual beli tanah, mengenai binatang ternak, dan lain-lain, tercatat dengan baik. Hanya saja bagi masyarakat awam, catatan-catatan seperti itu, kurang mendapatkan perhatian, tidak terawat dengan baik, bahkan acap kali dibiarkan hancur. Pasalnya, bagi mereka tidak semenarik historiografi tradisional, seperti halnya naskah babad.  

Diterbitkan dalam surat kabar daring, https://www.lyceum.id/peran-pelabuhan-dalam-historiografi-tradisional/, pada hari Rabu 9 November 2016
Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search