Oleh Nurhata
Tanggal 7 Oktober 1527 diyakini oleh masyarakat Indramayu sebagai hari jadi Kota Mangga. Penentuannya mengacu pada Candrasengakala yang disebutkan dalam Babad Darmayu, suatu naskah yang berisi cerita asal-usul daerah Indramayu. Kedudukan naskah itu sangat penting bagi proses identifikasi kebenaran Hari Jadi Kota Indramayu yang hingga kini masih kontroversi.
Masalah Sumber Hari Jadi
*Publish pada hari Selasa 7 Oktober 2015 di surat kabar harian umum Pikiran Rakyat
Tanggal 7 Oktober 1527 diyakini oleh masyarakat Indramayu sebagai hari jadi Kota Mangga. Penentuannya mengacu pada Candrasengakala yang disebutkan dalam Babad Darmayu, suatu naskah yang berisi cerita asal-usul daerah Indramayu. Kedudukan naskah itu sangat penting bagi proses identifikasi kebenaran Hari Jadi Kota Indramayu yang hingga kini masih kontroversi.
Masalah Sumber Hari Jadi
Sedikitnya
ada 14 naskah Babad Darmayu, yang
keberadaannya tersebar di desa-desa. Tentang siapa pengarangnya, naskah ini
anonim. Dari jumlah tersebut, naskah
yang memuat informasi penanggalan hari jadi adalah koleksi Ki Masta (Cikedung),
Sumarta (Plumbon), dan Zaenal Asikin (Kedawung). Penanggalan pada dua naskah pertama
berupa Candrasengkala (bunyinya sama), sedangkan yang terakhir tercatat secara
eksplisit: Hari jadi Indramayu jatuh pada 7 Oktober 1527.
Naskah
lontar Babad Darmayu koleksi Sumarta
menjadi sumber bagi penyusunan “Sejarah Indramayu” karya Dasuki, dkk.
Peringatan hari jadi yang berlangsung sejak tahun 1977, sebagaimana tersebut
dalam kata sambutan buku itu, tidak didasari atas rumusan yang jelas, bagaimana
mekanisme penentuannya. Tim penyusun pun menyadari bahwa pada proses penghitungan
Candrasengkala penuh dengan kesangsian, terdapat banyak kekurangan di sana-sini,
dan sifatnya hanya sementara. Lagi pula, buku yang disebut-sebut sebagai karya
sejarah itu diselesaikan hanya dalam waktu singkat, kurang lebih satu tahun. Tim
penyusunnya berasal dari orang-orang berlatar belakang pengetahuan sejarah yang
pas-pasan. Meskipun begitu, dengan segala kekurangannya, buku yang disusun oleh
tim yang diketuai oleh Bupati Dasuki sendiri itu kerap dikutip oleh sejarawan
lokal dan budayawan lokal.
Naskah
Babad Darmayu milik Zaenal Asikin
disalin pada hari Senin Wage, 26 September 1977. Sumber penyusunannya berdasarkan
Babad Darmayu yang ditulis pada tahun
1913, keberadaannya tidak diketahui. Tidak ada keterangan mengenai waktu hari
jadi, apakah berdasarkan perhitungan Candrasengkala atau merujuk pada catatan
yang lebih eksplisit yang lazim tertera pada kolofon atau manggala. Bunyi hari
jadi pada naskah ini berhubungan, langsung atau tidak langsung, dengan “Sejarah
Indramayu” tersebut di atas.
Jadi,
Candrasengkala harus kembali “dieja”, sebab itu adalah satu-satunya informasi
penanggalan sekaligus sebagai pijakan awal atas penafsiran hari jadi. Tentu
saja, aspek konteks, atau kajian interteks, tidak boleh dilewatkan dalam
analisisya.
Kedudukan Naskah
Babad Darmayu
Menafikan
keberadaan naskah Babad Darmayu dalam
setiap momen diskusi sejarah Indramayu akan menghilangkan subjek kajian, jauh
dari kadar ilmiah. Wacana yang muncul ke permukaan hanya rangkaian tafsir yang
melangit, tidak memiliki pijakan kuat. Sebab, dari naskah itu berbagai macam
informasi kesejarahan dapat digali.
Di
dalam studi sejarah lokal, naskah babad dapat dimasukkan ke dalam sejarah tipe
tradisional. Peristiwa masa lalu, oleh masyarakat, dapat dipahami melalui karya
semacam itu. Mereka menganggapnya sebagai gambaran sejarah dalam arti
sebenarnya. Filologi merupakan disiplin ilmu yang paling otoritatif menguliti aneka
jenis naskah, yang darinya dapat digunakan untuk berbagai macam kajian ilmu
humaniora, termasuk di dalamnya sejarah atau hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa
masa lampau.
Di
Indramayu dan Cirebon, peran dalang wayang golek cepak, wayang purwa, dan
sandiwara (masres) dalam
memperkenalkan legenda asal-usul Indramayu begitu besar. Wiracarita Islam dan
Arab pun begitu, diintroduksi oleh mereka. Melalui mereka aneka ceritera
populer di tengah masyarakat, dan terus digandrungi hingga dewasa ini. Tidak
berlebihan bila mereka dapat ditempatkan sebagai kelompok pemelihara tradisi –yang
akarnya sudah ada sejak era Jawa Kuna, yaitu pada abad ke-9.
Di
samping melalui tradisi lisan, atau seni pertunjukan (performance art), juga melalui tradisi penyalinan naskah. Mereka
menyebarkan cerita asal-usul Indramayu melalui tradisi tulis (penyalinan
naskah), yang umumnya dilakukan oleh para petani dan dalang. Naskah-naskah
salinannya sebagian besar beraksara Jawa, sudah diadaptasi sedemikian rupa,
diringkas, dengan aneka macam versi dan varian, yang dengannya tidak pernah sepi
dari peminat.
Namun
demikian, apa yang menjadi perhatian masyarakat, jika merujuk pada hasil
penghitungan Candrasengakala di atas (tahun 1527), sesungguhnya naskah Babad Darmayu baru ditulis tiga abad
kemudian setelah Wiralodra membangun Padukuhan Cimanuk. Naskah tertuanya, yang
menjadi koleksi Museum Sri Baduga, berangka tahun 1900. Pastinya, imajinasi
pengarang mendominasi alur cerita dalam naskah itu.
Sebagai Karya
Sastra
Perspektif
atas naskah Babad Darmayu sebagai
karya sastra (fiksi) selama ini belum menarik perhatian banyak pihak. Kuatnya unsur
irasionalitas tidak menjadi persoalan lantaran sebagai karya sastra, alih-alih
sejarah. Dengan begitu maka kisah pendiri Indramayu, Wiralodra, mengubah wujud
menjadi binatang, petir, atau menghilang, itu sah-sah saja karena berada dalam
bingkai sastra.
Oleh
karena sebagai karya sastra maka ruang diskusi menjadi terbuka lebih lebar.
Studi bandingan atas naskah Babad Darmayu
tidak kalah menarik dari kajian sejarah. Cerita Baratayudha yang biasa
dipentaskan melalui seni pertunjukan wayang dan tradisi penyalinan naskah bisa
kita bandingkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah itu. Wiralodra sebagai
putra ketiga dari lima bersaudara dapat dibandingkan dengan posisi Arjuna yang
juga sebagai putra ketiga dari lima bersaudara (Pandawa Lima). Ketangkasan
perempuan cantik jelita, Nyi Endang Darma Ayu (istri Wiralodra, menurut tradisi
lisan) juga boleh dibandingkan dengan sosok Srikandi (istri Arjuna). Demikian
pula senjata sakti cakra udaksana yang digunakan Wiralodra saat membabad hutan
Cimanuk dapat dibandingkan dengan cakra milik kurir Arjuna, Krisna, sewaktu
bertempur di palagan Kurusetra.
Maka,
dari situ bisa kita pahami bahwa Sang Pengarang menciptakan Babad Darmayu dengan sadar. Ia memiliki
perbendaharaan cerita, mengetahui sejumlah referensi kesusastraan yang
berkembang pada masanya. Ia juga memahami betul apa yang ada dibalik kognisi
masyarakat, yang menjadikan ceritanya terus digandrungi, terutama oleh
masyarakat awam. Persoalan salah-benar, terjadi atau tidak, itu tidaklah
penting. Sebab, itu adalah fiksi, penuh dengan imajinasi liar sang pengarang.
muhammadnurhata@gmail.com
087828978759
Advertisement
EmoticonEmoticon