Hari Jadi, Babad Darmayu, dan Karya Sastra

- 06.20
advertise here
advertise here
Oleh Nurhata



Tanggal 7 Oktober 1527 diyakini oleh masyarakat Indramayu sebagai hari jadi Kota Mangga. Penentuannya mengacu pada Candrasengakala yang disebutkan dalam Babad Darmayu, suatu naskah yang berisi cerita asal-usul daerah Indramayu. Kedudukan naskah itu sangat penting bagi proses identifikasi kebenaran Hari Jadi Kota Indramayu yang hingga kini masih kontroversi.

Masalah Sumber Hari Jadi
Sedikitnya ada 14 naskah Babad Darmayu, yang keberadaannya tersebar di desa-desa. Tentang siapa pengarangnya, naskah ini anonim.  Dari jumlah tersebut, naskah yang memuat informasi penanggalan hari jadi adalah koleksi Ki Masta (Cikedung), Sumarta (Plumbon), dan Zaenal Asikin (Kedawung). Penanggalan pada dua naskah pertama berupa Candrasengkala (bunyinya sama), sedangkan yang terakhir tercatat secara eksplisit: Hari jadi Indramayu jatuh pada 7 Oktober 1527.
Naskah lontar Babad Darmayu koleksi Sumarta menjadi sumber bagi penyusunan “Sejarah Indramayu” karya Dasuki, dkk. Peringatan hari jadi yang berlangsung sejak tahun 1977, sebagaimana tersebut dalam kata sambutan buku itu, tidak didasari atas rumusan yang jelas, bagaimana mekanisme penentuannya. Tim penyusun pun menyadari bahwa pada proses penghitungan Candrasengkala penuh dengan kesangsian, terdapat banyak kekurangan di sana-sini, dan sifatnya hanya sementara. Lagi pula, buku yang disebut-sebut sebagai karya sejarah itu diselesaikan hanya dalam waktu singkat, kurang lebih satu tahun. Tim penyusunnya berasal dari orang-orang berlatar belakang pengetahuan sejarah yang pas-pasan. Meskipun begitu, dengan segala kekurangannya, buku yang disusun oleh tim yang diketuai oleh Bupati Dasuki sendiri itu kerap dikutip oleh sejarawan lokal dan budayawan lokal.
Naskah Babad Darmayu milik Zaenal Asikin disalin pada hari Senin Wage, 26 September 1977. Sumber penyusunannya berdasarkan Babad Darmayu yang ditulis pada tahun 1913, keberadaannya tidak diketahui. Tidak ada keterangan mengenai waktu hari jadi, apakah berdasarkan perhitungan Candrasengkala atau merujuk pada catatan yang lebih eksplisit yang lazim tertera pada kolofon atau manggala. Bunyi hari jadi pada naskah ini berhubungan, langsung atau tidak langsung, dengan “Sejarah Indramayu” tersebut di atas.
Jadi, Candrasengkala harus kembali “dieja”, sebab itu adalah satu-satunya informasi penanggalan sekaligus sebagai pijakan awal atas penafsiran hari jadi. Tentu saja, aspek konteks, atau kajian interteks, tidak boleh dilewatkan dalam analisisya.
Kedudukan Naskah Babad Darmayu
Menafikan keberadaan naskah Babad Darmayu dalam setiap momen diskusi sejarah Indramayu akan menghilangkan subjek kajian, jauh dari kadar ilmiah. Wacana yang muncul ke permukaan hanya rangkaian tafsir yang melangit, tidak memiliki pijakan kuat. Sebab, dari naskah itu berbagai macam informasi kesejarahan dapat digali.
Di dalam studi sejarah lokal, naskah babad dapat dimasukkan ke dalam sejarah tipe tradisional. Peristiwa masa lalu, oleh masyarakat, dapat dipahami melalui karya semacam itu. Mereka menganggapnya sebagai gambaran sejarah dalam arti sebenarnya. Filologi merupakan disiplin ilmu yang paling otoritatif menguliti aneka jenis naskah, yang darinya dapat digunakan untuk berbagai macam kajian ilmu humaniora, termasuk di dalamnya sejarah atau hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa masa lampau.
Di Indramayu dan Cirebon, peran dalang wayang golek cepak, wayang purwa, dan sandiwara (masres) dalam memperkenalkan legenda asal-usul Indramayu begitu besar. Wiracarita Islam dan Arab pun begitu, diintroduksi oleh mereka. Melalui mereka aneka ceritera populer di tengah masyarakat, dan terus digandrungi hingga dewasa ini. Tidak berlebihan bila mereka dapat ditempatkan sebagai kelompok pemelihara tradisi –yang akarnya sudah ada sejak era Jawa Kuna, yaitu pada abad ke-9.
Di samping melalui tradisi lisan, atau seni pertunjukan (performance art), juga melalui tradisi penyalinan naskah. Mereka menyebarkan cerita asal-usul Indramayu melalui tradisi tulis (penyalinan naskah), yang umumnya dilakukan oleh para petani dan dalang. Naskah-naskah salinannya sebagian besar beraksara Jawa, sudah diadaptasi sedemikian rupa, diringkas, dengan aneka macam versi dan varian, yang dengannya tidak pernah sepi dari peminat.
Namun demikian, apa yang menjadi perhatian masyarakat, jika merujuk pada hasil penghitungan Candrasengakala di atas (tahun 1527), sesungguhnya naskah Babad Darmayu baru ditulis tiga abad kemudian setelah Wiralodra membangun Padukuhan Cimanuk. Naskah tertuanya, yang menjadi koleksi Museum Sri Baduga, berangka tahun 1900. Pastinya, imajinasi pengarang mendominasi alur cerita dalam naskah itu.  
Sebagai Karya Sastra
Perspektif atas naskah Babad Darmayu sebagai karya sastra (fiksi) selama ini belum menarik perhatian banyak pihak. Kuatnya unsur irasionalitas tidak menjadi persoalan lantaran sebagai karya sastra, alih-alih sejarah. Dengan begitu maka kisah pendiri Indramayu, Wiralodra, mengubah wujud menjadi binatang, petir, atau menghilang, itu sah-sah saja karena berada dalam bingkai sastra.
Oleh karena sebagai karya sastra maka ruang diskusi menjadi terbuka lebih lebar. Studi bandingan atas naskah Babad Darmayu tidak kalah menarik dari kajian sejarah. Cerita Baratayudha yang biasa dipentaskan melalui seni pertunjukan wayang dan tradisi penyalinan naskah bisa kita bandingkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah itu. Wiralodra sebagai putra ketiga dari lima bersaudara dapat dibandingkan dengan posisi Arjuna yang juga sebagai putra ketiga dari lima bersaudara (Pandawa Lima). Ketangkasan perempuan cantik jelita, Nyi Endang Darma Ayu (istri Wiralodra, menurut tradisi lisan) juga boleh dibandingkan dengan sosok Srikandi (istri Arjuna). Demikian pula senjata sakti cakra udaksana yang digunakan Wiralodra saat membabad hutan Cimanuk dapat dibandingkan dengan cakra milik kurir Arjuna, Krisna, sewaktu bertempur di palagan Kurusetra.
Maka, dari situ bisa kita pahami bahwa Sang Pengarang menciptakan Babad Darmayu dengan sadar. Ia memiliki perbendaharaan cerita, mengetahui sejumlah referensi kesusastraan yang berkembang pada masanya. Ia juga memahami betul apa yang ada dibalik kognisi masyarakat, yang menjadikan ceritanya terus digandrungi, terutama oleh masyarakat awam. Persoalan salah-benar, terjadi atau tidak, itu tidaklah penting. Sebab, itu adalah fiksi, penuh dengan imajinasi liar sang pengarang.

muhammadnurhata@gmail.com


087828978759
*Publish pada hari Selasa 7 Oktober 2015 di surat kabar harian umum Pikiran Rakyat


Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search