Hari Jadi, Tradisi Kekuasaan, dan Legitimasi Politik

- 06.36
advertise here
advertise here
Oleh Nurhata, M. Hum.

Tanggal 7 Oktober 1527 diyakini sebagai Hari Jadi Kota Indramayu. Kali pertama perayaanya pada tahun 1977. Penetapan itu berdasarkan candrasengkala yang terdapat dalam lontar Babad Darmayu milik Sumerta. Tim penyusun mengakui segala kekurangannya pada proses penghitungan candrasengkala. Meskipun begitu, pemerintah daerah selalu merayakannya, dan masyarakat pun antusias menyambutnya, seperti tampak pada perayaan hari jadi yang ke-488 tahun ini ―berlangsung dari tanggal 1 sampai 17 Oktober 2015.
Terdapat dua cerita dalam naskah Babad Darmayu, yaitu cerita asal-usul dan cerita pemberontakan (awal abad ke-19). Pada cerita pertama, kisah Wiralodra membangun Padukuhan Cimanuk, yang kelak menjadi Darmayu (baca: Indramayu) menjadi pokok bahasannya. Sedangkan yang kedua, fokus ceritanya pada kisah pemberontakan Bagus Rangin dkk. melawan Dalem Indramayu Raden Semangun, orang-orang Cina, dan tentara kolonial Belanda.
Kedudukan naskah Babad Darmyu sangat urgen bagi setiap argumentasi atas peristiwa paling bersejarah menurut masyarakat Indramayu. Informasi mengenai tradisi kepemimpinan dan apa maknanya dapat dilihat dari naskah itu.
Masalah Naskah Babad   
Meskipun sejumlah kritik mengalir deras atas naskah babad akan tetapi keberadaannya dapat dijadikan sebagai sumber sejarah (Ricklefs: 2007). Penyusunan sejarah-sejarah yang ada di Nusantara tidak terpisahkan dari naskah jenis ini. Hal ini yang menjadikannya tetap menarik perhatian sejarawan kendati pun ruang kontroversi selalu menganga. Dari situ pula sejumlah karya segar disuguhkan, menjadi acuan bagi para sarjana.
Naskah Babad Darmayu dapat disebut sebagai tipe sejarah tradisional-kolonial. Disebut demikian karena karakter kolonial pada naskah ini begitu kuat. Bagaimana tidak, perseteruan di tubuh keluarga dalem ‘bupati’ hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Aksi para brandal dalam memperjuangkan haknya, yang dipimpin oleh para kebagusan (Bagus Rangin, Bagus Serit, Bagus Urang, dan Bagus Surapersanda) juga hanya dapat dihentikan oleh kompeni, dengan mengirimkan 300 serdadu dari Batavia. Perannya yang begitu besar dalam menyelesaikan berbagai konflik membuat gubernur jendral pada masa itu memperoleh gelar kehormatan dari masyarakat pribumi, Gusti Kanjeng Raja Kumpeni. Artinya, penyusunan naskah Babad Darmayu sangat mungkin atas perintah (dikontrol oleh) pemerintah Hindia Belanda. Lagi pula, dari 14 naskah yang ada, naskah Babad Darmayu tertua ditulis pada tahun 1900, di saat Belanda masih berpengaruh kuat atas penduduk pribumi, dari tingkat elit sampai ke tingkat paling bawah. Dan, memang secara de facto Indramyu pernah membuka pintu selebar-lebarnya bagi intervensi Belanda pada masa bupati ke-5, Raden Semangun Singalodraka, pada awal abad ke-19. 
Namun demikian, apapun jenis dan isi naskahnya, tradisi masa lalu yang diuraikan di dalamnya perlu diperkenalkan kembali ke masyarakat. Sebab, segala sesuatu yang bertalian dengan masa lalu, baik mengenai sejarah, bahasa, budaya, dan pelbagai infromasi penting lainnya, dapat disuguhkan dari sana. Masalah kepemimpinan adalah salah satu hal yang selalu menarik dibicarakan dalam setiap kesempatan diskusi.
Model Kepemimpinan
Layaknya seorang raja, demikian kedudukan bupati Indramayu. Estafet kepemimpinan daerah ini, sejak awal berdirinya, tak ubahnya raja-raja Nusantara. Masyarakat mengakui keberadaan dinasti kecil itu. Meskipun demikian masyarakat menganggapnya hanya sebagai bupati yang kedudukannya berada di bawah kesultanan Cirebon.
Berdasarkan naskah Babad Darmayu,yang juga didukung oleh tradisi lisan, Raden Wiralodra adalah kepala padukuhan Cimanuk pertama. Tempat itu kemudian menjadi Darmayu; catatan pemerintah Hindia Belanda menyebutnya Indramajoe. Pendiri negara itu tidak pernah mengukuhkan wilayah yang baru saja dibabadnya harus dipimpin oleh keturunannya sendiri. Wirapati misalnya, putra kedua Wiralodra, ketika menggantikan posisi sang ayah, tidak ada perseteruan berarti. Mungkin karena dianggap paling menonjol dalam hal kepemimpinan sebagaimana ayahnya. Namun, dalam perkembangannya, muncul kecenderungan bahwa pergantian dalem ‘bupati’ seakan wajib dari trah Wiralodra, terutama putra sulung.
Selepas Wirapati, selanjutnya yang menjadi dalem adalah Raden Kohi, baru kemudian Raden Banggala Wiralodra. Raden Benggali Singalodra meributkan masalah kepemimpinan ketika kakaknya, Benggala Singalodra, menggantikan sang ayah, merasa dirinya lebih berhak. Perselisihan baru berhenti setelah Adriyan Theodor Vermuelen mengirim surat dari Batavia. Gubernur Jendral itu memutuskan masing-masing akan menjadi bupati selama tiga tahun, sesudah itu tidak lagi ada bupati.
Saat Benggali Singalodra menjadi dalem, bertepatan dengan pemerintahan Gubernur Jendral Albertus Hendricus Wiese. Masa ini merupakan titik akhir tradisi kekuasaan. Jabatan bupati selanjutnya, meskipun dari trah Wiralodra, akan tetapi atas kehendak pemerintah Hindia Belanda.
Raden Semangun Singalodraka, putra Benggali Singalodra, adalah bupati pertama yang mendapatkan legitimasi langsung dari pemerintah Hindia Belanda. Pada saat yang bersamaan, pemeberontakan meletup di sejumlah tempat yang dipimpin oleh Bagus Rangin dkk., terutama di Indramayu bagian barat. Tidak mengherankan bila di era demokrasi ini aksi-aksi demonstrasi mewarnai setiap pemerintahan, sebab itu bukanlah sesuatu yang ahistoris, pernah terjadi sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Berbeda dari Indramayu barat, di Indramayu bagian timur hampir tidak ada kabar perihal pemberontakan. Musababnya wabah penyakit kusta yang tersebar di beberapa distrik (Juntinyuat, Kedokan Bunder, Karangampel, dan Krangkeng), sebagaimana tercatat dalam arsip Indramajoe koleksi Perpustakaan Nasional RI.
Pengganti bupati berikutnya adalah anak pertama dari Raden Semangun, Raden Krestal. Lalu diberikan lagi kepada putra pertamanya, Raden Krestal. Pelimpahan kekuasaan ini adalah usaha kedua kalinya menerapkan sistem monarki, setelah perselisihan kakak-beradik, Benggala Wiralodra dengan Benggali Singalodra.
Legitimasi Politik
Menghubungkan garis silsilah seorang raja, atau bupati, hingga ke orang-orang besar menjadi warna tersendiri bagi sejarah tipe tradisional, tidak terkecuali dengan naskah Babad Darmayu. Di dalam naskah ini, silsilah Wiralodra terkait dengan dua pembesar-pembesar dari kerajaan Pajajaran dan Majapahit –dua kekuatan besar yang mengapit kekuasaan kecil, Indramayu. Dengan begitu maka Indramayu memperoleh legitimasi politik. Tentunya, oleh pengarang, rangkaian silsilah itu diciptakan dengan sadar, hingga memiliki implikasi sosial. Persoalan benar-salah lain urusan.  
Fenomena demikian sesuangguhnya tidak hanya terjadi di Indramyu. Sejak beberapa abad silam, raja-raja di Nusantara mengklaim dirinya sebagai turunan maharaja, bahkan jelmaan dewa. Misalnya, Ken Arok menganggap dirinya putra Brahma, jelmaan Siwa, dan titisan Wisnu. Begitu pula dengan raja-raja Melayu, mereka mengaku keturunan Aleksander Agung atau Iskandar Zulkarnaen. Tak syak lagi, itu semua bertujuan memperoleh legitimasi politik.
Klaim atas diri bupati sebagai keturunan dari Wiralodra tidak lebih dari upaya legitimasi politik. Ritual perayaan hari jadi setiap tanggal 7 Oktober, “menghadirkan roh leluhurnya”, hanya akan menumbuhkan hasrat kembali ke masa lalu, tampak seperti membalut kekuasaan dengan kekuatan magis. Dengan begitu maka kedudukan bupati menjadi sakral. Padahal, di setiap lapisan sosial, di dasar harmoni masyarakat, tidak ada yang transenden.

muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759

*Publish pada hari Selasa 13 Oktober 2015 di surat kabar harian Tribun Jabar
Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search