Tanggal 7 Oktober 1527 diyakini sebagai
Hari Jadi Kota Indramayu. Kali pertama perayaanya pada tahun 1977. Penetapan
itu berdasarkan candrasengkala yang terdapat dalam lontar Babad Darmayu milik Sumerta. Tim penyusun mengakui segala
kekurangannya pada proses penghitungan candrasengkala. Meskipun begitu,
pemerintah daerah selalu merayakannya, dan masyarakat pun antusias
menyambutnya, seperti tampak pada perayaan hari jadi yang ke-488 tahun ini ―berlangsung
dari tanggal 1 sampai 17 Oktober 2015.
Terdapat dua cerita dalam naskah Babad Darmayu, yaitu cerita asal-usul
dan cerita pemberontakan (awal abad ke-19). Pada cerita pertama, kisah
Wiralodra membangun Padukuhan Cimanuk, yang kelak menjadi Darmayu (baca:
Indramayu) menjadi pokok bahasannya. Sedangkan yang kedua, fokus ceritanya pada
kisah pemberontakan Bagus Rangin dkk. melawan Dalem Indramayu Raden Semangun,
orang-orang Cina, dan tentara kolonial Belanda.
Kedudukan naskah Babad Darmyu sangat urgen bagi setiap argumentasi atas peristiwa
paling bersejarah menurut masyarakat Indramayu. Informasi mengenai tradisi
kepemimpinan dan apa maknanya dapat dilihat dari naskah itu.
Masalah
Naskah Babad
Meskipun sejumlah kritik mengalir deras
atas naskah babad akan tetapi keberadaannya dapat dijadikan sebagai sumber
sejarah (Ricklefs: 2007). Penyusunan sejarah-sejarah yang ada di Nusantara
tidak terpisahkan dari naskah jenis ini. Hal ini yang menjadikannya tetap
menarik perhatian sejarawan kendati pun ruang kontroversi selalu menganga. Dari
situ pula sejumlah karya segar disuguhkan, menjadi acuan bagi para sarjana.
Naskah Babad Darmayu dapat disebut sebagai tipe sejarah
tradisional-kolonial. Disebut demikian karena karakter kolonial pada naskah ini
begitu kuat. Bagaimana tidak, perseteruan di tubuh keluarga dalem ‘bupati’ hanya bisa diselesaikan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Aksi para brandal
dalam memperjuangkan haknya, yang dipimpin oleh para kebagusan (Bagus Rangin,
Bagus Serit, Bagus Urang, dan Bagus Surapersanda) juga hanya dapat dihentikan
oleh kompeni, dengan mengirimkan 300 serdadu dari Batavia. Perannya yang begitu
besar dalam menyelesaikan berbagai konflik membuat gubernur jendral pada masa
itu memperoleh gelar kehormatan dari masyarakat pribumi, Gusti Kanjeng Raja
Kumpeni. Artinya, penyusunan naskah Babad
Darmayu sangat mungkin atas perintah (dikontrol oleh) pemerintah Hindia
Belanda. Lagi pula, dari 14 naskah yang ada, naskah Babad Darmayu tertua ditulis pada tahun 1900, di saat Belanda masih
berpengaruh kuat atas penduduk pribumi, dari tingkat elit sampai ke tingkat
paling bawah. Dan, memang secara de facto
Indramyu pernah membuka pintu selebar-lebarnya bagi intervensi Belanda pada
masa bupati ke-5, Raden Semangun Singalodraka, pada awal abad ke-19.
Namun demikian, apapun jenis dan isi
naskahnya, tradisi masa lalu yang diuraikan di dalamnya perlu diperkenalkan kembali
ke masyarakat. Sebab, segala sesuatu yang bertalian dengan masa lalu, baik
mengenai sejarah, bahasa, budaya, dan pelbagai infromasi penting lainnya, dapat
disuguhkan dari sana. Masalah kepemimpinan adalah salah satu hal yang selalu
menarik dibicarakan dalam setiap kesempatan diskusi.
Model
Kepemimpinan
Layaknya seorang raja, demikian
kedudukan bupati Indramayu. Estafet kepemimpinan daerah ini, sejak awal
berdirinya, tak ubahnya raja-raja Nusantara. Masyarakat mengakui keberadaan
dinasti kecil itu. Meskipun demikian masyarakat menganggapnya hanya sebagai
bupati yang kedudukannya berada di bawah kesultanan Cirebon.
Berdasarkan naskah Babad Darmayu,yang juga didukung oleh tradisi lisan, Raden
Wiralodra adalah kepala padukuhan Cimanuk pertama. Tempat itu kemudian menjadi Darmayu;
catatan pemerintah Hindia Belanda menyebutnya Indramajoe. Pendiri negara itu
tidak pernah mengukuhkan wilayah yang baru saja dibabadnya harus dipimpin oleh
keturunannya sendiri. Wirapati misalnya, putra kedua Wiralodra, ketika
menggantikan posisi sang ayah, tidak ada perseteruan berarti. Mungkin karena
dianggap paling menonjol dalam hal kepemimpinan sebagaimana ayahnya. Namun,
dalam perkembangannya, muncul kecenderungan bahwa pergantian dalem ‘bupati’ seakan wajib dari trah
Wiralodra, terutama putra sulung.
Selepas Wirapati, selanjutnya yang
menjadi dalem adalah Raden Kohi, baru
kemudian Raden Banggala Wiralodra. Raden Benggali Singalodra meributkan masalah
kepemimpinan ketika kakaknya, Benggala Singalodra, menggantikan sang ayah,
merasa dirinya lebih berhak. Perselisihan baru berhenti setelah Adriyan Theodor
Vermuelen mengirim surat dari Batavia. Gubernur Jendral itu memutuskan
masing-masing akan menjadi bupati selama tiga tahun, sesudah itu tidak lagi ada
bupati.
Saat Benggali Singalodra menjadi dalem, bertepatan dengan pemerintahan
Gubernur Jendral Albertus Hendricus Wiese. Masa ini merupakan titik akhir
tradisi kekuasaan. Jabatan bupati selanjutnya, meskipun dari trah Wiralodra,
akan tetapi atas kehendak pemerintah Hindia Belanda.
Raden Semangun Singalodraka, putra
Benggali Singalodra, adalah bupati pertama yang mendapatkan legitimasi langsung
dari pemerintah Hindia Belanda. Pada saat yang bersamaan, pemeberontakan
meletup di sejumlah tempat yang dipimpin oleh Bagus Rangin dkk., terutama di
Indramayu bagian barat. Tidak mengherankan bila di era demokrasi ini aksi-aksi
demonstrasi mewarnai setiap pemerintahan, sebab itu bukanlah sesuatu yang ahistoris, pernah terjadi sejak awal
abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Berbeda dari Indramayu barat, di
Indramayu bagian timur hampir tidak ada kabar perihal pemberontakan. Musababnya
wabah penyakit kusta yang tersebar di beberapa distrik (Juntinyuat, Kedokan
Bunder, Karangampel, dan Krangkeng), sebagaimana tercatat dalam arsip Indramajoe koleksi Perpustakaan Nasional
RI.
Pengganti bupati berikutnya adalah anak
pertama dari Raden Semangun, Raden Krestal. Lalu diberikan lagi kepada putra
pertamanya, Raden Krestal. Pelimpahan kekuasaan ini adalah usaha kedua kalinya
menerapkan sistem monarki, setelah perselisihan kakak-beradik, Benggala
Wiralodra dengan Benggali Singalodra.
Legitimasi
Politik
Menghubungkan garis silsilah seorang
raja, atau bupati, hingga ke orang-orang besar menjadi warna tersendiri bagi sejarah
tipe tradisional, tidak terkecuali dengan naskah Babad Darmayu. Di dalam naskah ini, silsilah Wiralodra terkait
dengan dua pembesar-pembesar dari kerajaan Pajajaran dan Majapahit –dua kekuatan
besar yang mengapit kekuasaan kecil, Indramayu. Dengan begitu maka Indramayu memperoleh
legitimasi politik. Tentunya, oleh pengarang, rangkaian silsilah itu diciptakan
dengan sadar, hingga memiliki implikasi sosial. Persoalan benar-salah lain
urusan.
Fenomena demikian sesuangguhnya tidak
hanya terjadi di Indramyu. Sejak beberapa abad silam, raja-raja di Nusantara
mengklaim dirinya sebagai turunan maharaja, bahkan jelmaan dewa. Misalnya, Ken
Arok menganggap dirinya putra Brahma, jelmaan Siwa, dan titisan Wisnu. Begitu
pula dengan raja-raja Melayu, mereka mengaku keturunan Aleksander Agung atau
Iskandar Zulkarnaen. Tak syak lagi, itu semua bertujuan memperoleh legitimasi
politik.
Klaim atas diri bupati sebagai keturunan
dari Wiralodra tidak lebih dari upaya legitimasi politik. Ritual perayaan hari
jadi setiap tanggal 7 Oktober, “menghadirkan roh leluhurnya”, hanya akan
menumbuhkan hasrat kembali ke masa lalu, tampak seperti membalut kekuasaan
dengan kekuatan magis. Dengan begitu maka kedudukan bupati menjadi sakral.
Padahal, di setiap lapisan sosial, di dasar harmoni masyarakat, tidak ada yang
transenden.
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
*Publish pada hari Selasa 13 Oktober 2015 di surat kabar harian Tribun Jabar
Advertisement
EmoticonEmoticon