Ada banyak memori yang tersimpan di kepala kita. Tentang apa yang kita baca, apa yang kita lihat, kita pahami, kita cerna, hingga memuncul tesis, yang suatu hari menemukan antitesisnya, dan menjadi sintesis sekaligus tesis baru dan seterusnya. Semua akan mengalir begitu saja, lupa atau ingat, kerap kita abaikan. Bukan hanya keabadian yang didapatkan dari aktivitas menulis, melainkan kita akan menjadi entitas energi yang menggerakan roda dilalektika keilmuan.
Bayangkan, dalam satu hari saja, berapa banyak hal yang kita saksikan melalui panca indra, lalu masuk ke akal dan hati kita. Jika tidak segera diikat semuanya akan hilang, hanya sedikit saja sesungguhnya yang kita ingat. Maka dari itu, untuk mengikatnya harus dengan kata yang permanen: tulisan.
Ibarat binatang yang berlari kencang, demikian ingatan itu. Jika tidak diikat maka akan lari jauh: lupa. Sebaliknya, jika diikat akan menjadi abadi, bisa dibaca oleh penulisnya, atau oleh pembaca pada umumnya. Kita harus mafhum, apa yang disebut sebagai mujizat terbesar Muhammad adalah sesuatu yang tertulis: Al-Quran. Dari yang tertulis itu melahirkan kitab-kitab tafsir, Jalalain dan al-Misbah misalnya.
Bayangkan, dalam satu hari saja, berapa banyak hal yang kita saksikan melalui panca indra, lalu masuk ke akal dan hati kita. Jika tidak segera diikat semuanya akan hilang, hanya sedikit saja sesungguhnya yang kita ingat. Maka dari itu, untuk mengikatnya harus dengan kata yang permanen: tulisan.
menulis |
Lebih dari itu, sejumlah filsuf yang pernah memberikan pencerahan bagi zamannya, hingga terus mengalir menggenangi sejumlah peradaban, itu karena tulisannya. Sebut saja misalnya, spirit Averoesme (Ibn Rusyd), yang mampu membawa peradaban bangsa Andalusia menuju gerbang kemajuan. Semuanya karena tulisan.
Advertisement
EmoticonEmoticon