Pergeseran Makna Pendeta dan Kiai

- 16.41
advertise here
advertise here
Oleh Nurhata


Sekilas judul di atas tak lagi asing di telinga kita. Namun demikian, jika dirunut ke dalam sumber-sumber lawas, kata “pendeta” dan “kiai” mengasosiasikan pada pengertian yang tidak sama dengan definisi mainstream. Catatan kuna yang menyebutkan dua kata tersebut, antara lain naskah Cariyos Walangsungsang, Babad Cerbon, Purwaka Caruban Nagari dan Babad Darmayu. Tiga naskah (manuscript) pertama memiliki jumlah salinan yang relatif banyak, mencapai puluhan, sementara yang disebut terakhir hanya ada satu. Hal ini menandakan bahwa isi yang termuat di dalamnya digandrungi oleh masyarakat pemiliknya: Cirebon dan Indramayu. Labih jauh lagi, dalam banyak hal kedua identitas budaya daerah itu termaktub dalam empat naskah tersebut, meski tidak mencakup semua aspek.

Pendeta Hindu (sumber Wikipedia)
Pendeta
Siapa sangka bahwa “pendeta” memiliki makna asal yang sukar diterima jika diterjemahkan ke dalam konteks dewasa ini. Di dalam naskah Cariyos Walangsungsang, term “pendeta” tidak berarti pemuka agama Hindu atau Protestan, melainkan ulama, atau kiai menurut tradisi masyarakat Jawa pada umumnya. Untuk menyebut nama Syekh Syarif Hidayatullah misalnya, masyarakat setempat pada masanya menyebut pendeta, bukan ulama. Putra Rarasantang yang memiliki nama lain Sunan Gunung Jati itu disebut sebagai ratunya para wali, bergelar Kanjeng Sinuhun Jati Purba (Ratuning Wali Jumeneng Kanjeng Sinuhun Jatipurba). Tidak hanya Syekh Syarif, sejumlah ulama lain pun diberi gelar sosial “pendeta”, sebagaimana dialami oleh pelopor agama Islam di tanah Cirebon asal Mekah: Pendeta Syekh Datukafi dan Pendeta Syekh Nurjati.

Jika “pendeta” dalam contoh di atas bermakna ulama, dengan demikian Pendeta Danuwarsih memiliki arti serupa. Dengan kalimat lain, sesungguhnya Pendeta Danuwarsih adalah seorang ulama yang mengantarkan Walangsungsang memasuki ruang-ruang pencarian hingga bersentuhan dengan titik-titik religuitas Islam. Tidak heran jika Pendeta Danuwarsih mengubah nama Walangsungsang menjadi Syekh Abdullah, serta memberinya petunjuk dalam mencari agama Nabi Muhammad, sebagaimana diceritakan dalam naskah Babad Cirebon, Cariyos Walangsungsang, dan Purwaka Caruban Nagari. Oleh pendeta itu, putra sulung Prabu Siliwangi juga diajarkan ilmu makrifat. Selanjutnya ia berencana belajar syariat kanjeng nabi Muhammad (Islam) kepada sejumlah pendeta.
Namun identifikasi atas pendeta-pendeta yang pernah hadir pada masanya memerlukan kajian interteks disamping membutuhkan ketajaman pisau analisis, dan waktu yang tidak bisa ditempuh ekspres cepat untuk sampai pada konklusi bahwa di Cirebon (dan sekitarnya) terdapat sejumlah ulama sebelum kedatangan Walangsungsang.

Kiai
Di dalam KBBI, “kiai” berarti sebutan bagi alim ulama. Namun demikian, sejak beberapa abad silam makna kata tersebut memiliki arti yang tidak sama dengan konteks dewasa ini. Makna “kiai” bertalian dengan orang yang memiliki derajat sosial tinggi atau trah darah biru (laki-laki atau perempuan), termasuk yang diasosiasikan kepada benda mati yang memiliki kekuatan magis, seperti Kiai Sangkan, Kiai Dares, dan Kiai Darugem, (dalam Babad Cirebon dan Cariyos Walangsungsang), Kiai Syariat Benggala Wiralodra, dan Kiai Endang Darma Ayu (naskah Babad Darmayu). Selain itu adalah Kiai Tumbak Talempek, senjata Raja Urawan yang diambil oleh Raden Sayid Abdurahman sewaktu berburu di hutan belantara.

Yang tak kalah menarik disandingkan di sini adalah Bagus Serit. Tokoh ini memiliki catatan hitam yang tidak mungkin diberi amnesti oleh peradilan Hindia Belanda. Arsip kolonial Belanda memasukan Bagus Serit dalam daftar nama pemberontak, begitu pula dalam beberapa catatan lokal. Ia adalah orang yang menusuk Patih Astrasuta dengan tumbak Si Wedang hingga tewas di Bantarjati. Tetapi, dalam naskah Babad Darmayu, justru ia dikenal dengan Kiai Serit.  

Ketidakkonstanan makna “kiai” hingga kini terus bergerak bebas. Di Daerah Solo misalnya, “kiai” dilabelkan pada seekor kerbau putih (kebo bule), Kiai Slamet.

Akhirnya, perubahan, pergeseran, atau perkembangan makna kata adalah sesuatu yang tak terhindarkan, mengalir halus melewati zaman, dan menyela ruang-ruang budaya, hingga muncul apa yang disebut tafsir. Gejala demikian sangat mungkin terjadi pada pelbagai jenis kata yang lain. 


* Diterbitkan di surat kabar Pikiran Rakyat pada hari Rabu, 5 Januari 2014
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search