Oleh Nurhata
Sekilas judul di atas
tak lagi asing di telinga kita. Namun demikian, jika dirunut ke dalam
sumber-sumber lawas, kata “pendeta” dan “kiai” mengasosiasikan pada pengertian
yang tidak sama dengan definisi mainstream.
Catatan kuna yang menyebutkan dua kata tersebut, antara lain naskah Cariyos Walangsungsang, Babad Cerbon,
Purwaka Caruban Nagari dan Babad
Darmayu. Tiga naskah (manuscript)
pertama memiliki jumlah salinan yang relatif banyak, mencapai puluhan,
sementara yang disebut terakhir hanya ada satu. Hal ini menandakan bahwa isi
yang termuat di dalamnya digandrungi oleh masyarakat pemiliknya: Cirebon dan
Indramayu. Labih jauh lagi, dalam banyak hal kedua identitas budaya daerah itu
termaktub dalam empat naskah tersebut, meski tidak mencakup semua aspek.
Pendeta
Pendeta Hindu (sumber Wikipedia) |
Siapa sangka bahwa “pendeta”
memiliki makna asal yang sukar diterima jika diterjemahkan ke dalam konteks
dewasa ini. Di dalam naskah Cariyos
Walangsungsang, term “pendeta” tidak berarti pemuka agama Hindu atau Protestan,
melainkan ulama, atau kiai menurut tradisi masyarakat Jawa pada umumnya. Untuk
menyebut nama Syekh Syarif Hidayatullah misalnya, masyarakat setempat pada
masanya menyebut pendeta, bukan ulama. Putra Rarasantang yang memiliki nama
lain Sunan Gunung Jati itu disebut sebagai ratunya para wali, bergelar Kanjeng
Sinuhun Jati Purba (Ratuning Wali Jumeneng
Kanjeng Sinuhun Jatipurba). Tidak hanya Syekh Syarif, sejumlah ulama lain pun
diberi gelar sosial “pendeta”, sebagaimana dialami oleh pelopor agama Islam di
tanah Cirebon asal Mekah: Pendeta Syekh Datukafi dan Pendeta Syekh Nurjati.
Jika “pendeta” dalam
contoh di atas bermakna ulama, dengan demikian Pendeta Danuwarsih memiliki arti
serupa. Dengan kalimat lain, sesungguhnya Pendeta Danuwarsih adalah seorang
ulama yang mengantarkan Walangsungsang memasuki ruang-ruang pencarian hingga
bersentuhan dengan titik-titik religuitas Islam. Tidak heran jika Pendeta
Danuwarsih mengubah nama Walangsungsang menjadi Syekh Abdullah, serta
memberinya petunjuk dalam mencari agama Nabi Muhammad, sebagaimana diceritakan
dalam naskah Babad Cirebon, Cariyos
Walangsungsang, dan Purwaka Caruban
Nagari. Oleh pendeta itu, putra sulung Prabu Siliwangi juga diajarkan ilmu
makrifat. Selanjutnya ia berencana belajar syariat kanjeng nabi Muhammad
(Islam) kepada sejumlah pendeta.
Namun identifikasi atas
pendeta-pendeta yang pernah hadir pada masanya memerlukan kajian interteks
disamping membutuhkan ketajaman pisau analisis, dan waktu yang tidak bisa ditempuh
ekspres cepat untuk sampai pada konklusi bahwa di Cirebon (dan sekitarnya) terdapat
sejumlah ulama sebelum kedatangan Walangsungsang.
Kiai
Di dalam KBBI, “kiai”
berarti sebutan bagi alim ulama. Namun demikian, sejak beberapa abad silam
makna kata tersebut memiliki arti yang tidak sama dengan konteks dewasa ini. Makna
“kiai” bertalian dengan orang yang memiliki derajat sosial tinggi atau trah darah biru (laki-laki atau
perempuan), termasuk yang diasosiasikan kepada benda mati yang memiliki
kekuatan magis, seperti Kiai Sangkan, Kiai Dares, dan Kiai Darugem, (dalam Babad Cirebon dan Cariyos Walangsungsang), Kiai Syariat Benggala Wiralodra, dan Kiai Endang
Darma Ayu (naskah Babad Darmayu). Selain
itu adalah Kiai Tumbak Talempek, senjata Raja Urawan yang diambil oleh Raden Sayid
Abdurahman sewaktu berburu di hutan belantara.
Yang tak kalah menarik
disandingkan di sini adalah Bagus Serit. Tokoh ini memiliki catatan hitam yang
tidak mungkin diberi amnesti oleh peradilan Hindia Belanda. Arsip kolonial
Belanda memasukan Bagus Serit dalam daftar nama pemberontak, begitu pula dalam beberapa
catatan lokal. Ia adalah orang yang menusuk Patih Astrasuta dengan tumbak Si
Wedang hingga tewas di Bantarjati. Tetapi, dalam naskah Babad Darmayu, justru ia dikenal dengan Kiai Serit.
Ketidakkonstanan makna
“kiai” hingga kini terus bergerak bebas. Di Daerah Solo misalnya, “kiai”
dilabelkan pada seekor kerbau putih (kebo
bule), Kiai Slamet.
Akhirnya, perubahan,
pergeseran, atau perkembangan makna kata adalah sesuatu yang tak terhindarkan,
mengalir halus melewati zaman, dan menyela ruang-ruang budaya, hingga muncul
apa yang disebut tafsir. Gejala demikian sangat mungkin terjadi pada pelbagai
jenis kata yang lain.
* Diterbitkan di surat kabar Pikiran Rakyat pada hari Rabu, 5 Januari 2014
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
muhammadnurhata@gmail.com
cp. 087828978759
Advertisement
EmoticonEmoticon