Oleh Nurhata
“Pangkur. Sun anebut Pancasila. Katuhanan
sila ingkang sawiji. Kabangsahan kalihipun. Kaping tiga kadhahulatan.
Prikamanusahan ping patipun. Kalima kahadil sasial. Puniku dasar nagari.”
Demikian bunyi dasar negara yang tercatat pada bagian akhir manuskrip Kejawen. Catatan tersebut saya dapatkan saat
sedang mendeskripsikan naskah-naskah daerah yang jumlahnya mencapai angka puluhan. Waktu itu bertepatan dengan hari
Selasa, 1 Oktober 2013, yang diperingati dengan hari Kesaktian Pancasila. Tidak
hanya tentang Pancasila, dalam manuskrip ini juga dielangkapi keterangan Kabinet
Gotong Royong: “Senggake undang-undang
dasar taun 45; gotong royong kerja sama manuju kahindonesiya.”
Alas
manuskrip yang digunakan dalam manuskrip Kejawen
adalah kertas bergaris, ditulis dengan pensil. Manuskrip ini ditulis dengan
aksara Jawa/Carakan, menggunakan bahasa Jawa. Ukuran manuskrip 21.5 x 16.3 cm; ukuran blok
teks 16 x 14.4 cm; terdiri atas 8 halaman. Asal manuskrip dari Desa Pecuk,
Indramayu. Di dalamnya, termasuk pada bagian sampul, terdapat keterangan waktu
penulisan, yaitu tanggal 1 Januari 1961, “Januawari
kaping satunggal, 1-1-1961”. Berdasarkan Monumen Ordonasi STBL 238 th 1931 dan UU Cagar Budaya No. 5 tahun 1992, meskipun usianya
relatif muda, baru 52 tahun, akan tetapi dapat dikategorikan sebagai manuskrip
(cagar budaya) yang perlu lestarikan, karena di dalamnya kaya dengan informasi
dan kearifan lokal.
Penyalin
manuskrip Kejawen adalah Ki Sonda. Ia
adalah seorang dalang wayang kondang Indramayu yang pernah masyhur di zamannya. Bahasa dan
aksara yang digunakan, khususnya tentang Pancasila, sengaja ia sesuaikan agar
dapat dipahami oleh pembaca setempat. Selain itu, Pancasila yang tercatat dalam
manuskrip ini ditulis dengan gaya puisi lama, Pupuh Pangkur. Penyalinan ini
tidak berdasarkan teks tertulis, melainkan dari lisan, baru kemudian dituliskan,
seperti terlihat dari bahasanya; bahasa dan aksara Jawa dan ditulis secara
singkat. Selain penyalin, Ki Sonda juga pemilik manuskrip itu. Di tangan
pemilik inilah lima dasar negara dideklamasikan, yaitu dengan melalui seni
pertunjukan wayang. Ia menyampaikan Pancasila ke hadapan penonton dengan cara
dinyanyikan, dengan menggunakan Pupuh Pangkur.
Manuskrip
Kejawen disalin karena dianggap
penting. Meskipun
uraian tentang Pancasila hanyalah catatan kecil yang ada dalam manuskrip tersebut,
akan tetapi menarik untuk diperhatikan, karena prinsip dasar negara yang disajikannya
ditulis dan disampaikan ke masyarakat dengan gaya lokal yang khas. Di samping
itu, Pancasila dalam manuskrip ini diduga memiliki fungsi magis (kesaktian),
karena disandingkan secara bersamaan dengan doa-doa Jawa dan ilmu kebatianan,
yang tergabung dalam manuskrip Kejawen.
Pada prinsipnya, jejak leluhur yang termaktub dalam setiap
manuskrip memiliki keunikan masing-masing, tidak terkecuali manuskrip Kejawen. Lima dasar negara yang ada
dalam manuskrip Kejawen, yang
tertulis dalam bentuk puisi lama (pupuh), memiliki makna dan cita rasa tersendiri
bagi masyarakat pemiliknya, karena penyajiannya yang unik dan khas, sebagaimana
diuraikan di atas. Demikian sekelumit tentang Pancasila yang ada dalam
manuskrip Kejawen, masih banyak manuskrip
lain lagi yang perlu diungkap isinya, yang kini sedang menanti ”tangan-tangan
kreatif”.
M |
*Pernah dipublikasikan di surat kabar Pikiran Rakyat pada hari Rabu, 16 Oktober 2013.
muhammadnurhata@gmail.com Cp.082295405185
muhammadnurhata@gmail.com Cp.082295405185
Advertisement
EmoticonEmoticon