Pancasila dalam Manuskrip Kejawen

- 05.14
advertise here
advertise here
Oleh Nurhata
Pangkur. Sun anebut Pancasila. Katuhanan sila ingkang sawiji. Kabangsahan kalihipun. Kaping tiga kadhahulatan. Prikamanusahan ping patipun. Kalima kahadil sasial. Puniku dasar nagari.” Demikian bunyi dasar negara yang tercatat pada bagian akhir manuskrip Kejawen. Catatan tersebut saya dapatkan saat sedang mendeskripsikan naskah-naskah daerah yang jumlahnya mencapai angka puluhan. Waktu itu bertepatan dengan hari Selasa, 1 Oktober 2013, yang diperingati dengan hari Kesaktian Pancasila. Tidak hanya tentang Pancasila, dalam manuskrip ini juga dielangkapi keterangan Kabinet Gotong Royong: “Senggake undang-undang dasar taun 45; gotong royong kerja sama manuju kahindonesiya.”
Alas manuskrip yang digunakan dalam manuskrip Kejawen adalah kertas bergaris, ditulis dengan pensil. Manuskrip ini ditulis dengan aksara Jawa/Carakan, menggunakan bahasa Jawa. Ukuran manuskrip 21.5 x 16.3 cm; ukuran blok teks 16 x 14.4 cm; terdiri atas 8 halaman. Asal manuskrip dari Desa Pecuk, Indramayu. Di dalamnya, termasuk pada bagian sampul, terdapat keterangan waktu penulisan, yaitu tanggal 1 Januari 1961, “Januawari kaping satunggal, 1-1-1961”. Berdasarkan Monumen Ordonasi STBL 238 th 1931 dan UU Cagar Budaya No. 5 tahun 1992, meskipun usianya relatif muda, baru 52 tahun, akan tetapi dapat dikategorikan sebagai manuskrip (cagar budaya) yang perlu lestarikan, karena di dalamnya kaya dengan informasi dan kearifan lokal.
Penyalin manuskrip Kejawen adalah Ki Sonda. Ia adalah seorang dalang wayang kondang Indramayu yang pernah masyhur di zamannya. Bahasa dan aksara yang digunakan, khususnya tentang Pancasila, sengaja ia sesuaikan agar dapat dipahami oleh pembaca setempat. Selain itu, Pancasila yang tercatat dalam manuskrip ini ditulis dengan gaya puisi lama, Pupuh Pangkur. Penyalinan ini tidak berdasarkan teks tertulis, melainkan dari lisan, baru kemudian dituliskan, seperti terlihat dari bahasanya; bahasa dan aksara Jawa dan ditulis secara singkat. Selain penyalin, Ki Sonda juga pemilik manuskrip itu. Di tangan pemilik inilah lima dasar negara dideklamasikan, yaitu dengan melalui seni pertunjukan wayang. Ia menyampaikan Pancasila ke hadapan penonton dengan cara dinyanyikan, dengan menggunakan Pupuh Pangkur.
Manuskrip Kejawen disalin karena dianggap penting. Meskipun uraian tentang Pancasila hanyalah catatan kecil yang ada dalam manuskrip tersebut, akan tetapi menarik untuk diperhatikan, karena prinsip dasar negara yang disajikannya ditulis dan disampaikan ke masyarakat dengan gaya lokal yang khas. Di samping itu, Pancasila dalam manuskrip ini diduga memiliki fungsi magis (kesaktian), karena disandingkan secara bersamaan dengan doa-doa Jawa dan ilmu kebatianan, yang tergabung dalam manuskrip Kejawen.
Pada prinsipnya, jejak leluhur yang termaktub dalam setiap manuskrip memiliki keunikan masing-masing, tidak terkecuali manuskrip Kejawen. Lima dasar negara yang ada dalam manuskrip Kejawen, yang tertulis dalam bentuk puisi lama (pupuh), memiliki makna dan cita rasa tersendiri bagi masyarakat pemiliknya, karena penyajiannya yang unik dan khas, sebagaimana diuraikan di atas. Demikian sekelumit tentang Pancasila yang ada dalam manuskrip Kejawen, masih banyak manuskrip lain lagi yang perlu diungkap isinya, yang kini sedang menanti ”tangan-tangan kreatif”. 
M

*Pernah dipublikasikan di surat kabar Pikiran Rakyat pada hari Rabu, 16 Oktober 2013.
muhammadnurhata@gmail.com Cp.082295405185
Advertisement advertise here


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search